Sunday, September 29, 2013

[indonesia_damai] [sajak] Kebenaran itu barang mewah

 

Kebenaran itu barang mewah

puluhan tahun mencari kebenaran
yang ada hanya pembenaran
rakyat dibantai tanpa keadilan

pembantaian tanpa kasihan
seperti himmler membenarkan
pembunuhan simbol kekuasaan

generasi baru tanpa trauma
main gadget dan tablet hiburan
melupakan mimpi ngeri ortunya?

gelapnya sejarah indonesia
sengaja digelapkan penguasa
apa yang tersisa di hati nuranimu?

Heri Latief
Amsterdam 29/09/2013

 
http://herilatief.wordpress.com/
http://akarrumputliar.wordpress.com/
http://sastrapembebasan.wordpress.com/
Twitter: @herilatief

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:

------------------ Forum Indonesia Damai (FID) ------------------
Arsip Milis FID http://groups.yahoo.com/group/indonesia_damai/messages
Bergabung ke Milis FID:  indonesia_damai-subscribe@yahoogroups.com
Keluar dari Milis FID:  indonesia_damai-unsubscribe@yahoogroups.com
---------------- indonesia_damai@yahoogroups.com ----------------
.

__,_._,___

[indonesia_damai] Akhir Tragis Gerakan Penyelamatan

 

Pembantaian dan pemenjaraan berjuta orang tanpa pengadilan dilakukan secara sistematis.

"Tak ada yang peduli jika mereka disembelih, asalkan mereka komunis."
(Pejabat Departemen Luar Negeri AS 1965, Howard Federspiel)


Desember 1964, sebuah laporan intelijen yang dikirim ke Beijing menulis, berdasarkan informasi dari Konsulat Amerika Serikat di Hong Kong, kesehatan Soekarno sudah dalam kondisi kritis dan para jenderal antikomunis kemungkinan akan melakukan tindakan pengambilalihan kekuasaan.

Laporan tersebut seolah memperkuat laporan Kedutaan Besar China di Jakarta yang diterima Beijing pada Agustus 1964, bahwa elemen sayap kanan dan imperialis geram dengan sikap Soekarno yang mulai berbelok ke kiri. Mereka akan berupaya mendongkel Soekarno. Konflik antara subversi dan kontra subversi akan lebih akut."

Laporan sejenis beredar dan didengar hampir seluruh negara yang memiliki perwakilan di Indonesia. Bagi AS, Inggris, dan sekutunya, "info" ini penting.

Jika Partai Komunis Indonesia bisa diyakinkan bahwa para jenderal antikomunis berencana mengambil alih kekuasaan, PKI akan mendahului gerakan lewat sebuah kudeta yang—diharapkan—prematur. Jika gagal, ada dalih untuk melenyapkan mereka.

AS dan sekutunya serta Uni Soviet dan negara-negara sekawan sudah mulai gerah dengan pengaruh PKI yang terlalu kuat terhadap Soekarno. Pemimpin gerakan Non-Blok tersebut dinilai mulai condong ke China.

Arsip Kementerian Luar Negeri China mengungkap, seperti dikutip sejarawan, Taomo Zhou, dalam makalah ilmiahnya Ambivalent Alliance Chinese Policy towards Indonesia, 1960-1965 yang dirilis Agustus 2013, tahun 1964-1965, PKI dan China membentuk hubungan kerja sama berdasarkan persamaan kepentingan untuk mendorong Soekarno bergeser ke kiri dalam kebijakan nasional maupun luar negerinya. Salah satunya, PKI memainkan peran penting dalam mendesak Soekarno untuk tidak mengundang Uni Soviet ke Konferensi Asia-Afrika kedua.

China menginginkan Indonesia menjadi "motor" bagi negara-negara dunia ketiga di benua Asia, Afrika, dan Amerika Latin, guna mengimbangi kekuatan AS di kutub Barat dan Uni Soviet di kutub Timur.

Wakil Perdana Menteri China saat itu, Chen Yi, dalam percakapan dengan Subandrio pada 24 Januari 1965, menyebut sosialisme masa depan bukan sosialisme ala Inggris atau Soviet, bahkan bukan ala Mao Zedong, tapi sosialisme ala Soekarno, yakni sikap anti-imperialisme dan antikolonialisme. Dengan demikia, membangun "kutub ketiga" untuk mengimbangi dua raksasa (AS dan Soviet) menjadi tak terelakkan.

Tentu saja, ambisi China ini membuat gerah. Maka sebuah "provokasi" pun dibangun untuk "menjebak" PKI.

Sejumlah dokumen dari beberapa negara (antara lain dokumen milik pemerintah AS, Inggris, Uni Soviet, Jepang, Jerman Barat dan Jerman Timur, serta pemerintah China dan Partai Komunis China) yang ditelusuri para sejarawan mengungkap banyak pihak terlibat, secara langsung maupun tidak langsung, dalam pembentukan Gerakan 30 September (G30S) 1965 dan pembantaian lebih dari satu juta kader dan simpatisan PKI yang terjadi setelahnya.

Itu sebabnya mengapa hampir seluruh negara dunia, kecuali China, bungkam terhadap pembantaian massal di Indonesia antara tahun 1965-1967 yang skala jumlah korbannya menduduki peringkat kedua di dunia setelah korban Nazi Jerman.

Pembantaian dan pemenjaraan berjuta orang tanpa pengadilan yang terjadi di seluruh Indonesia pasca-G30S, dilakukan secara sistematis sebagai upaya mengubah haluan ekonomi dan politik Indonesia.

G30S

Sebuah arsip Partai Komunis China yang ditelusuri Taomo Zhou mengungkap pertemuan Aidit bertemu Mao terakhir kali di Beijing pada 5 Agustus 1965. Saat itu Mao sempat bertanya, apa yang akan dilakukan PKI jika Soekarno meninggal dan jika tentara ambil alih kekuasaan. Aidit menjawab, ia akan melakukan serangan pendahuluan untuk mengantisipasi hal itu.

Dua bulan setelah pertemuan tersebut, G30S meletus. Tapi pembunuhan para jenderal sama sekali di luar skenario. Sejarawan Asvi Warman Adam, kepada SH, Sabtu (28/9) pagi, menjelaskan G30S pada awalnya adalah gerakan penyelamatan. Namun, skenario ternyata tidak berjalan sesuai rencana karena tewasnya enam jenderal dan seorang kapten.

Soekarno meminta gerakan tersebut dihentikan, segera setelah menerima laporan kematian para jenderal tersebut, tapi G30S menolak. "Saat itulah, gerakan tersebut berubah menjadi sebuah upaya kudeta," ujar Asvi.
Sampai sekarang belum terungkap siapa memerintahkan penembakan, karena rencana awal adalah menyerahkan para jenderal tersebut dalam kondisi hidup ke hadapan presiden.

"Memang terjadi kecerobohan karena saat itu tidak ada komando yang jelas, tidak ada perintah yang jelas," jelas Asvi.
Dalam pertemuannya dengan Mao, Aidit mengatakan kalaupun sebuah komite militer terbentuk (dalam upaya serangan pendahuluan), komite tersebut tidak akan dipertahankan dalam jangka panjang karena "akan membuat orang baik menjadi orang jahat".

Pembantaian

Persis pada 1 Oktober 1965, hampir semua Kedubes Asing yang ada di Jakarta mengirim kawat ke negaranya dengan nada serupa, yang intinya menyebut kemungkinan Soekarno tidak akan bisa kembali ke kedudukannya.

Aiko Kurasawa, sejarawan dari Keio University Jepang, dalam penelusuranya terhadap arsip Departemen LN Jepang menemukan, pada 1 Oktober 1965 Kedubes Jepang mengirim dua kali telegram ke Tokyo. Telegram terakhir dikirim jam 20.50 WIB, menjelaskan upaya Dewan Revolusi mengambil tindakan untuk mencegah kudeta para jenderal hanya dalih belaka. Laporan tersebut berdasarkan informasi dari "sumber khusus" kedutaan.

Menurut Ragna Boden, arsiparis di Lembaga Arsip negara North-Rhine Westphalia Duseseldorf, Jerman, apa yang disebut "sumber khusus" dalam dokumen-dokumen tersebut adalah tentara Indonesia.

G30S, seperti diceritakan sejarawan John Roosa, menciptakan dalih bagi AS dan sekutunya untuk menumpas PKI dengan memakai tentara Indonesia. Penangkapan jutaan simpatisan dan kader PKI serta pembunuhan brutal terhadap lebih dari 1 juta jiwa lainnya, menunjukkan upaya ini dilakukan secara sistematis. Bukan aksi "spontan" dari massa yang marah dengan PKI.

Dokumen yang ditelusuri sejarawan Universitas Princetown AS, Bradley Simpson, menunjukkan Duta Besar Inggris, Andrew Gilchrist, menyerukan propaganda dini yang direncanakan secara hati-hati dan aktivitas perang urat syaraf guna memperburuk perselisihan di dalam negeri serta memastikan pembasmian dan penghalauan PKI oleh tentara Indonesia.

Dibungkamnya media massa pada waktu itu, membuat nyaris tak ada catatan maupun dokumen publik tentang apa yang terjadi setelah G30S.

Perwira-perwira militer menemui para editor surat kabar yang masih punya izin terbit dan memperingatkan mereka, netralitas pemberitaan tidak akan dizinkan. Setiap berita yang kritis terhadap kampanye anti-PKI akan dianggap sebagai bukti simpati terhadap golongan komunis.

Inilah mengapa Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) perlu membuka akses mereka untuk publik agar kabut G30S dan pembantaian yang terjadi sesudahnya benar-benar bisa tersibak.

"UU Kearsipan Nomor 43/2009 jelas memungkinkan akses arsip-arsip itu (1965). Ini bisa menguak apa yang terjadi waktu itu. Dokumen yang diterima Arsip Nasional tentang PKI dan underbow di bawahnya sudah cukup banyak," jelas mantan Kepala ANRI, Djoko Utomo. Ia menyayangkan keengganan ANRI baru-baru ini untuk membuka arsip 1965. "Ini ironis," ujarnya.

Di tengah situasi ini, upaya Goethe Institut memfasilitasi sebuah konferensi internasional tentang 1965 di Jakarta tahun 2011 patut diapresiasi. Bernd Schaefer, peneliti senior untuk Cold War International History Project di Woodrow Wilson International Center menjadi inisiator awal konferensi ini.

Senin (30/9), catatan konferensi yang dikumpulkan dalam buku berjudul 1965 diluncurkan di Goethe. Head of Cultural Programme Goethe-Institut Jakarta, Katrin Sohns, menyebut apa yang dilakukan Goethe adalah upaya melawan lupa. 
Upaya memberi dorongan bagi Indonesia untuk mengakui sejarah mereka, dan berjanji untuk tidak mengulanginya. "Don't forget, don't repeat," ujar Katrin Sohns.

Fransisca R Susanti | Sabtu, 28 September 2013 - 12:08 WIB

http://www.shnews.co/detile-25627-akhir-tragis-gerakan-penyelamatan.html

Sumber : Sinar Harapan
 
http://herilatief.wordpress.com/
http://akarrumputliar.wordpress.com/
http://sastrapembebasan.wordpress.com/
Twitter: @herilatief

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:

------------------ Forum Indonesia Damai (FID) ------------------
Arsip Milis FID http://groups.yahoo.com/group/indonesia_damai/messages
Bergabung ke Milis FID:  indonesia_damai-subscribe@yahoogroups.com
Keluar dari Milis FID:  indonesia_damai-unsubscribe@yahoogroups.com
---------------- indonesia_damai@yahoogroups.com ----------------
.

__,_._,___

[indonesia_damai] 48 Tahun G30S, Menolak Lupa

 

Konflik 1965 adalah sejarah yang emosional yang bisa diselesaikan lewat rasa, bukan hanya logika.

Mari kita berbincang / Melepaskan segala kisah segetir apapun untuk merajut hari besok /
Ketahuilah aku dan kami mengharamkan dendam terhadap seseorang / melainkan mendendam pada sistim penindasan / dan kuingin kita berjumpa untuk bertemu / Kecuali jika tubuhmu dan jiwamu tanpa roh / Enyahlah, duniaku berjarak dengan alammu! / Untuk apa berjumpa kalau tidak bertemu / membedah diri!.

Nukilan puisi ini karya penyair Toga Tambunan, dibuat tahun 2004, berjudul Perjumpaan. Ini mengingatkan perlunya sebuah pertemuan, tetapi pertemuan antara korban tragedi G30S 1965 dengan nonkorban. Pertemuan diharap melahirkan rekonsiliasi.

"Saya ingin masalah ini diselesaikan tanpa membangkitkan persoalan lama, tapi saling memahami bahwa ini adalah takdir sejarah. Saya sejak awal sudah memaafkan orang yang memukuli dan mencambuk saya," tutur Toga.

Toga adalah mantan Lembaga Kebudayaan Rakjat (Lekra) -- organisasi kebudayaan yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) -- serta mantan pengelola ruang Indonesia Muda di koran Bintang Timur dan penulis di Harian Rakjat. Ia pernah dibui selama 14 tahun di Kalimantan Selatan.

Jalur budaya memang bisa jadi jembatan penyelesaian konflik. Inilah yang digarap Goethe Institut lewat Pekan Budaya dengan tema "Budaya dan Konflik". Memperingati Tragedi 1965 tanggal 30 September, Goethe Institut juga akan meluncurkan buku 1965 Indonesia and The World yang ditulis Bernd Schäfer, pakar dari Woodrow Wilson International Center, Washington DC, AS.

Franz Xaver Augustin Direktur Goethe-Institut Indonesien, pada kata pengantar di buku 1965 Indonesia and The World menyebutkan, banyak orang bertanya apa hubungan tema politis ini dengan budaya. Tentu saja tidak ada maksud untuk mencampuri urusan domestik negara tuan rumah kami (Indonesia-red). Penekanannya terletak pada keterlibatan dalam arti luas, juga tanggung jawab politik internasional atas apa yang terjadi di Indonesia tahun 1965-1966.

Merenungkan keterkaitan itu, mengupayakan interpretasi yang seimbang terhadap peristiwa di masa lalu, terutama jika melibatkan pengalaman yang kejam dan menyakitkan. Kemudian, membuka jalan penyelesaian konflik dan rekonsiliasi di antara kubu yang bermusuhan merupakan prasyarat bagi kehidupan bersama yang adil dan beradab. Ini merupakan tugas dan kepentingan yang tercakup dalam ranah kebudayaan dalam pengertian luas.

Pekan Budaya digelar 29 September-6 Oktober 2013, dengan acara diskusi, pameran seni, pemutaran film, pertunjukan tari, teater boneka dan seminar. Acara ini kelanjutan dari konferensi internasional 1965 tahun 2011.

Menurut Kepala Regional bagian Program Budaya Goethe Institut, Katrin Sohns, Goethe punya perhatian terhadap isu kekerasan di Indonesia, mengingat Jerman juga memiliki sejarah kelam yang mirip dengan Indonesia, yaitu pembantaian terhadap warga Yahudi yang dilakukan Nazi.

Belajar dari masa lalu, sebagaimana Jerman yang tak ingin peristiwa Nazi terulang, Goethe pun mencoba mengangkat konflik-konflik di Indonesia, termasuk Tragedi 1965 sebagai bahan diskusi. Namun Katrin menegaskan, diskusi itu bukan untuk mencari kesalahan atau memojokkan pihak tertentu, melainkan untuk membuka perspektif baru.

"Kami mencoba untuk membuka perspektif yang lebih luas, tidak sekadar melihat Tragedi 1965, tetapi melihat dari mana terjadinya dan akar kekerasan, untuk menjawab pertanyaan mendasar siapa korban dan siapa pelaku kekerasan itu," ujar Katrin ketika ditemui SH di Goethe Institut, Jakarta, Rabu (25/9).

Katrin berharap acara ini bisa meningkatkan kesadaran publik Indonesia, terutama generasi muda seputar kekerasan di masa lalu. Memang dibutuhkan waktu yang panjang untuk menuntaskan konflik masa lalu, sama seperti Jerman yang butuh waktu berpuluh tahun atau satu generasi untuk mengungkap dan membawa para pelaku pembunuhan warga Yahudi ke pengadilan yang masih berlangsung hingga saat ini sehingga di Jerman muncul kalimat, "Jangan melupakan, jangan mengulangi."

Jika dibandingkan dengan negara Asia lainnya, Indonesia sudah mengalami banyak kemajuan dalam hal melihat konflik di masa lalu.

"Memang sampai saat ini masih ada perdebatan, tetapi sudah ada kesadaran untuk membicarakan persoalan ini, terbukti sudah ada film seperti The Act of Killing, ada buku Pulang, dan Ambar. Semua ini merupakan produk kesenian yang bertujuan meningkatkan kesadaran publik," tutur Katrin seraya mengatakan pers juga banyak berperan untuk mengangkat masalah ini. Goethe tidak akan berhenti untuk terus memperjuangkan kebebasan berpikir dan berbicara melalui acara budaya.

Pada acara ini, Goethe mengundang sejarawan Bernd Schäfer, Franz Magnis-Suseno SJ, dan Melani Budianta, serta bekerja sama dengan sejumlah institusi terkait seperti Komnas Perempuan, Insitut Ungu dan Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK). Goethe juga mengundang Wali Kota Palu Rusdy Mastura, yang tahun lalu menyampaikan permohonan maaf kepada para korban pelanggaran HAM berat masa lalu, khususnya yang ada di Palu, Sulawesi Tengah.

Uchikowati, anak mantan Bupati Cilacap, juga memandang jalur budaya efektif untuk mencairkan kebekuan di masyarakat. Ketika korban dan pendampingnya melakukan penuntutan lewat jalur hukum seperti class action mentok tak ada jalan keluar lagi, ternyata lewat jalur sosial dan budaya lebih efektif. Ini karena kebudayaan lebih soft atau lunak.

"Dengan kesenian, masyarakat di luar korban akan merasa nyaman dan di sanalah tempat pertemuan antara korban dan orang di luar korban," kata Uchikowati. "Karena saya anak korban, ketika membentuk kelompok paduan suara dan kegiatan pemberdayaan ekonomi, dimata-matai sampai sekarang, misalnya ketika melatih petani bikin pupuk organik, ada pria yang nongkrongin. Di Boyolali yang saya tahu juga gitu, walaupun itu melatih bikin kue kering atau kue dari pisang dan singkong," ujarnya.

Apa yang disasar lewat budaya adalah pertemuan antara korban dan nonkorban. Komunitas di luar korban terutama kaum muda mulai memahami bahwa di Indonesia pernah terjadi peristiwa pembunuhan brutal. Ini karena penjelasan sejarah bangsa diberikan secara halus lewat pemutaran film, buku, puisi, tarian, yang caranya tak terlampau galak sehingga mampu mengubah pendapat dan persepsi.

Tak Hanya Logika

Sutradara Teater Boneka Papermoon, Maria Tri Sulistyani, memilih membangkitkan rasa dan sensitivitas dengan kesadaran bahwa logika penting, tetapi kalau tak ada rasa dan sensitivitas maka tak ada keseimbangan. "Orang di bumi ini sudah lupa rasa, cuma pakai logika!" tutur Maria.

Papermoon menyajikan pertunjukan nonverbal untuk mengungkapkan imaji dan harapannya. Lebih menonjolkan tata cahaya, tata panggung, gerak, dan boneka supaya jadi emosional. Maksudnya untuk lebih menyentuh orang lewat hati, bukan otak.

"Karena ini menyangkut sejarah yang emosional di mana orang bisa sangat sedih, trauma, kecewa, sakit hati, atau merasa berkuasa. Rasa itu penting!" ujar Maria. Yang dimaksudnya adalah pertunjukan Papermoon "Secangkir Kopi dari Playa" yang diadakan Goethe Institut pada 30 September dan 1 Oktober.

Ia telah memproduksi dua karya dengan tema dasar yang terinspirasi tragedi 30 September 1965. Namun, tidak dengan data seperti film dokumenter atau buku tekstual. Apalagi, fungsi seni untuk menyampaikan sesuatu dengan lebih indah. Ia melakukan lewat teater boneka. "Namun, dengan cara itu orang bisa bilang, 'Gila ada nih ya, ada kejadian seperti itu di Indonesia'" kata Maria.

Maria bersikeras bahwa generasi muda kelahiran 1980-an dan 1990-an ke atas banyak yang tidak tahu dan kritis terhadap G30S. Padahal, kalau mereka tidak tahu maka kejadian kelam tersebut bisa saja terjadi lagi. "Maka saya selalu mengatakan ke anak muda 'Ayo yang bisa bikin film ya bikin film, yang bisa tari ya tari, yang puisi ya berpuisi, sedangkan kami lewat teater boneka'", ujar Maria.

Pentasnya 30 September dan 1 Oktober pukul 18.00 WIB akan dilakukan di tempat tertutup di sekitar Menteng. Jumlah penonton pun terbatas maksimal 30 orang. Tujuannya hanya supaya penonton mengalami perjalanan yang berbeda. 
Konsepnya sangat intim, bukan di gedung teater. Menurut Maria, fungsi seni memang menyampaikan sesuatu dengan lebih indah. Yang lebih penting lagi, cara ini efektif untuk mengajarkan generasi muda supaya tidak lagi mengulang konflik di masa lalu.

"Sulawesi Bersaksi"

Penulis sekaligus penyair Putu Oka Sukanta yang juga salah satu penyintas Tragedi 1965-1966 dan mantan anggota Lekra, akan meluncurkan buku terbarunya "Sulawesi Bersaksi" yang mengungkapkan kesaksian para anak penyintas dari beberapa wilayah di Sulawesi seperti Palu, Manado, Wajo, Kendari, Makassar dan Bau Bau.
"Kebanyakan mereka (korban-red) melakukan kerja paksa di Palu. Bisa dibilang kota Palu itu dibangun mereka, seperti bendungan, rumah, dan tower RRI," ujar Putu Oka ketika dihubungi SH di Jakarta, Rabu.

Peluncuran buku pada 3 September itu akan dihadiri Wali Kota Palu Rusdy Mastura, yang secara pribadi dan atas nama Pemerintah Kota Palu telah meminta maaf pada para korban pelanggaran berat HAM di Palu. Ketika terjadi Tragedi 1965, Rusdy masih remaja dan menjadi anggota Pramuka, bahkan pernah diperintahkan tentara untuk menjaga para tahanan.

Meski hingga kini pemerintah belum menyatakan permintaan maaf secara resmi kepada korban Tragedi 1965-1966, Putu menyatakan para penyintas akan selalu mencari jalan agar pemerintah mau mengakui bahwa negeri ini pernah melakukan kekerasan pada 1965-1966.

Terlebih dampak rekayasa terhadap anggota Gerwani -- ormas perempuan yang berafiliasi dengan PKI -- yang disebut menyilet-nyilet kemaluan para jenderal yang diculik, hingga kini masih tertanam dalam-dalam di benak orang Indonesia.

"Kebencian di wilayah grass root masih terjadi sampai sekarang seperti bom waktu. Konflik tetangga membunuh kakek, saudara membunuh ipar, dan lain-lain masih terus terjadi. Sampai sekarang di tingkat grass root masih terjadi konflik tersembunyi yang terjadi turun-temurun membias ke segala aspek kehidupan orang itu, kenapa pemerintah membiarkan?" tutur Putu Oka yang sudah menulis sejumlah kumpulan sajak dan novel, di antaranya Istana Jiwa, Rindu Terluka, Tembok, dan Matahari Berlin.

Ia mengatakan, para pelaku Tragedi 30 September yang menculik dan membunuh para jenderal sudah diadili dan dieksekusi, tetapi mereka yang membunuh 3 juta rakyat, seperti diakui komandan pasukan khusus tentara RPKAD Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, justru dibiarkan.

Oleh karena itu, Putu berharap melalui acara budaya masyarakat luas menjadi lebih paham dan berani mengutarakan bahwa konflik ada dalam diri mereka juga. "Korban Tragedi 1965-1966 adalah semua orang yang merasa teragitasi emosinya ketika diajak bicara atau mencari penyelesaian Tragedi 1965-1966. Dalam hal ini, DPR dan Presiden juga menjadi korban karena takut untuk membahasnya," katanya.

Sebenarnya sudah ada upaya untuk meluruskan sejarah seputar Tragedi 1965-1966 ketika Lipi berusaha merevisi buku pelajaran sejarah. Namun, masih terjadi silang pendapat, seperti pemakaian istilah Gerakan 30 September 1965 (G30S) tanpa menyebut PKI. Tahun 2007, Kejaksaan Negeri Depok membakar 1.247 buku sejarah yang tidak mencantumkan kata PKI. Pembakaran buku sejarah juga terjadi di Semarang, Bogor, Indramayu, Kendari, dan Pontianak.

Langkah ini dilakukan sesuai keputusan Jaksa Agung Abdurrahman Saleh pada Maret 2007 yang melarang peredaran buku-buku yang tidak mencantumkan kata PKI ketika menerangkan G30S. Namun, Putu merasa senang karena tahun ini ia mulai melihat diskusi mengenai Tragedi 1965-1966 lebih sporadis, mulai dari LBH hingga mahasiswa.

"Ini yang kita harapkan, tragedi ini dibahas dari sudut pandang apa saja, tidak hanya hitam dan putih. Ini adalah masalah bangsa yang harus dilihat secara jernih," ujarnya.

Penulis cerpen dan novel yang juga mantan anggota Lekra, Martin Aleida mengakui pula bahwa kebudayaan efektif untuk penyadaran publik. "Kekuasaan tanpa budaya itu sangat berbahaya. Untuk itu, demokrasi dan pelaksanaan hukum yang benar adalah paling penting dan ini bagian dari budaya manusia," ujar Martin.

Membangkitkan Trauma

Pandangan berbeda dikemukakan budayawan dan kurator teater, Halim HD. Baginya, keterkaitan antara peristiwa 1965 dengan peristiwa kebudayaan sekarang, bukanlah semata menghapus trauma para penyintas dan melawan lupa. Kesenian dapat membuat trauma menjadi semakin mendalam dan orang akan semakin mengingat peristiwa sejarah itu.

Seperti apa kejadian itu dan bagaimana terjadinya, tak bisa sepenuhnya digantungkan pada kesenian atau kebudayaan. Bagi Halim, ada banyak hal untuk mengobati trauma. "Masalahnya, peristiwa itu menjadi semacam benih yang terus-menerus ditanamkan bagi anak yang lahir tahun 1970-an, 1980-an, dan 1990-an. Kalau tidak mengetahui perspektif sejarah, tentu mereka akan repot untuk memahaminya," katanya.

Sedikit sekali karya seni atau sastra yang menjadikan Tragedi 1965 sebagai latar kisah. "Mungkin karena Orde Baru berhasil menciptakan stigma dan trauma bagi mereka (seniman)," tutur Halim.

Bagi perupa Dolorosa Sinaga, kalangan intelektual dan akademisi, jurnalis dan seniman, efektif bila membuat perlawanan. Ketiganya bahkan dapat memengaruhi kekuasaan atau pun menjatuhkan kekuasaan. "Dalam konteks moral, di sanalah perlawanan paling hebat dapat dimunculkan (oleh seniman)," katanya.

Setiap bangsa punya pekerjaan rumah untuk menyelesaikan luka sejarahnya. Namun, Tragedi 1965 tak pernah dapat diselesaikan negara karena resistensi itu terus dibangun. Ini bukan semata soal politik, tetapi kekuasaan negara.

Sejarah pembantaian terhadap rakyat pernah terjadi di masa silam. Di sinilah fungsi sosial dan seni yang paling dominan, yaitu menunjukkan dan membuat yang belum terlihat menjadi terungkap. Seniman lewat karya puisinya, seni rupa, seni musik, dan seni lainnya, perlu bersinergi dan bereksistensi melawan kekuasaan, Dolorosa menambahkan. 

(Wahyu Dramastuti/Sihar Ramses Simatupang)
Sumber : Sinar Harapan

http://www.shnews.co/detile-25630-48-tahun-g30s-menolak-lupa.html
 
http://herilatief.wordpress.com/
http://akarrumputliar.wordpress.com/
http://sastrapembebasan.wordpress.com/
Twitter: @herilatief

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:

------------------ Forum Indonesia Damai (FID) ------------------
Arsip Milis FID http://groups.yahoo.com/group/indonesia_damai/messages
Bergabung ke Milis FID:  indonesia_damai-subscribe@yahoogroups.com
Keluar dari Milis FID:  indonesia_damai-unsubscribe@yahoogroups.com
---------------- indonesia_damai@yahoogroups.com ----------------
.

__,_._,___

Thursday, September 26, 2013

[indonesia_damai] Fw: Intel mendukung pejabatan Foke sebagai Dubes RI di Jerman

 

Sehubungan dg masalah pengangkatan Foke sbg Dubes RI di Jerman,

di media "Kompasiana" ada artikel yg melakukan propaganda hitam -

menyerang organisasi Watch Indonesia! secara ngawur tak berdasar.

 

Artikel yg saya forward ini adalah klarifikasi dari Alex Flor -presiden Watch Indonesia!

menanggapi artikel yg ditulis oleh orang dg nama samaran "Ratu Adil" itu.

 

Semoga bermanfaat,

Arif Harsana

 

---------------------

 

Kutipan:

................................

"Watch Indonesia! tidak berjuang untuk kemerdekaan Papua, melainkan penyelesaian konflik
secara damai. Kami yakin sebelum memperoleh solusi, kita perlu mempunyai analisa persoalan
yang tepat. Apakah kita akan percaya dengan resep pengobatan seperti dokter langsung
memberi obat tanpa diagnose terlebih dulu? Pasti tidak. Apakah persoalan Papua selesai
dengan resep pemerintah dan TNI tanpa diagnose dulu? Tentu juga tidak. Yang kami sedang
perjuangkan adalah sebuah dialog antara pemerintah RI dan perwakilan yang dipercaya oleh
rakyat Papua (asli).

Foke tidak cocok. Sudah gak bisa berdialog dengan rakyat Jakarta, gimana mungkin dia bisa
mengajukan dialog pemerintah dengan Papua? Figur-Figur ORBA seperti Foke dan »Ratu Adil«
akan menambah frustrasi di Papua. Bukan Watch Indonesia!, tetapi Foke dan »Ratu Adil«
paling bertanggung jawab kalau terjadi pemberontakan di dua propinsi Papua itu!

Akhirnya mengenai »infiltrasi« PPI: Anda sendiri mengambarkan Watch Indonesia! sebagai
suatu lembaga cendekiawan Jerman dan Indonesia. Terimakasih atas penilaian ini. Sebenarnya
organisasi ini terbuka untuk semua orang yang peduli tentang Indonesia dan Timor Leste.
Kecendekiawanan bukan syarat untuk menjadi anggota atau mitra Watch Indonesia!.
Mahasiswa/i Indonesia atau PPI bukan target group yang khusus, sesuai dengan segala taktik
dan strategi perjuangan seperti yang Anda tuliskan. Realitasnya sederhana saja: kebanyakan
masyarakat Indonesia yang tinggal di Berlin dan bersemangat demi tanah airnya adalah
mahasiswa/i. Gitu saja. Ga usah mikir jauh-jauh ke teori-teori yang sama sekali tidak tepat".

................................

 

 

Von: "Watch Indonesia!" <watchindonesia@watchindonesia.org>

An: "Watch Indonesia!" <watchindonesia@watchindonesia.org>

Betreff: Intel mendukung pejabatan Foke sebagai Dubes RI di Jerman

Datum: Thu, 26 Sep 2013 02:23:50 +0200

 

 

Kompasiana, 26 September 2013

 

 

http://politik.kompasiana.com/2013/09/26/intel-mendukung-pejabatan-foke-sebagai-dubes-ri-di-jerman-595123.html

 

Intel mendukung pejabatan Foke sebagai Dubes RI di Jerman

 

(kenapa saya tidak bisa registrasi di Kompasiana dengen alamat e-mail yang benar:

flor@watchindonesia.org? Kalau saya meggunakan domain yang lain seperti yahoo atau gmail

bisa. Honi soit qui mal y ponse! (bhs. Prancis: dia maling, kalau dia mempunyai dugaan

tertentu).

 

 

Kadang-kadang orang bertanya, kenapa saya kurang akrab, bahkan kurang suka dengan social

media spt facebook, twitter atau forum-forum diskusi seperti Kompasiana. Alasanya gampang:

di media-media itu setiap orang bisa saja menulis dan menyebarkan gosip. Tidak ada redaksi

yang membahas validitas dan akurasi informasi. Bahkan di Kompasiana, salah seorang yang

mengakui dirinya »mata-mata politik dan bisnis yang berpengalaman 10 tahun« bisa saja

memanaskan para pembaca dengan meminjam pseudonim (nama fantasi) »Ratu Adil«.

<http://politik.kompasiana.com/2013/09/24/mampukah-fauzi-bowo-redam-isu-kemerdekaan-papua-di-jerman-595496.html>

 

Perlukah kami menjawab atas tulisan fantasi itu? Ataukah semua pembaca sudah cukup sadar

atas kwalitas dan substansi propaganda hitam itu. Sayangnya, saya kira, saya perlu

memberikan jawaban.

 

Kita mulai dengan berbagai klarifikasi:

 

1. Sdr. Budiman Sujatmiko tidak pernah menjadi anggota Watch Indonesia!, sehingga pula dia

tidak keluar dari organisasi kami. Budiman Sujatmiko tidak pernah tinggal di Jerman.

2. Watch Indonesia! tidak pernah berjuang untuk kemerdekaan Papua/Papua Barat, dan kami

tidak pernah berjuang untuk kemerdekaan Aceh atau salah satu propinsi atau daerah lain,

kecuali gerakan orang miskin yang bernama Ciliwung Merdeka!

3. Menurut hukum internasional Timor Timur belum pernah menjadi bagian resmi dari NKRI,

sehingga pembelaan hak-hak masyarakat Timor Leste dan kedaulatan rakyat di sana bukan

bersifat dukungan terhadap separatisme.

 

Agak lucu kalau »Ratu Adil« mengaitkan kegiatan Watch Indonesia! yang berdomisili di

Jerman dengan kepentingan perusahaan2 tambang internasional. Bukankah industri itu

kebanyakan berasal dari Amerika, Inggris, Belanda, Australi, dan RRT? Kenapa mereka akan

main kartu Jerman demi kepentingan bisnis mereka? Ga masuk akal.

 

Coba kita lihat Freeport di Papua yang disebutkan »Ratu Adil« sebagai contoh: Kalau tidak

salah, dari saham PT Freeport Indonesia 10% dipegang oleh negara Indonesia, sedangkan 90%

dimiliki oleh perusahaan induk Freeport-McMoRan Copper & Gold di Amerika Serikat. Mau apa

lagi? Apakah sebuah negara Papua akan memberi bagian yang lebih besar lagi kepada

perusahaan induk? Tidak mungkin! Terus, dimanakah kepentingan Freeport untuk mendukung

separatisme di Papua?

 

Benar perusahaan migas lagi pengin mengeksploitasi di selat Timor. Tapi ada hubungan apa

dengan status politik Timor Leste? Sebelum Timor Timur merdeka ada sebuah kesepakatan

antara Indonesia dan Australi tentang perbatasan laut yang lebih menguntungkan para

pembisnis Australi daripada kesepakatan baru dengan pemerintah Timor Leste. Dan bukankah

BP (Inggris/Belanda) lagi membangun industri migas di Bintuni, Papua Barat? Apa bedanya?

Elite Jakarta yang mengeksplotasi kayu cendana dan marmer dapat keuntungan besar selama

Timor Timur dikuasai NKRI.

 

Ternyata banyak orang di Indonesia tetap bisa dipancing dengan slogan2 Nekolim dan

dongengan yang berbunyi »Indonesia kaya raya atas sumber daya alam«. Seolah-olah bumi

tidak berputar terus semenjak zaman kolonial. Seolah-olah sumber daya alam seperti minyak

dan kayu masih ada seperti dulu. Welcome to the 21st century, Pak »Ratu Adil«! Coba buka

mata Anda atau seperti kata Foke, »Anda matanya kemana?«: saat ini Indonesia sudah harus

mengimpor minyak, dan hutan tropis terancam punah dalam waktu dekat. Jelas kepentingan

bisnis dan politik asing tetap ada. Tetapi kepentingan itu sudah berubah. Pada pertengahan

abad yl mungkin benar kalau berbagai negara maju tidak suka dengan negara Indonesia yang

kuat. Tetapi harapan mereka pada saat ini adalah sebuah Republik Indonesia yang kuat dan

stabil. Yang paling menarik sekarang adalah pasar konsumen serta peranan Indonesia sebagai

penjamin stabilitas di Asia dan di antara negara-negara bermayoritas Muslim. Janganlah

membodohin rakyat sendiri, Pak/Ibu Intel!

 

Sudah jelas kalau orang yang ketinggalan zaman mendukung Foke sebagai Dubes RI di Jerman.

Demi fens-fens Orde Baru Fauzi Bowo memang paling cocok, karena Fauzi Bowo sudah

ketinggalan zaman pula. Foke itu akrab dengan Jerman Barat pada tahun 70an. Banyak warga

Jerman belum lahir, Jerman Timur masih terpisah, dan banyak pendatang belum memegang

paspor Jerman pada saat itu. 40 tahun kemudian masyarakat Jerman sudah berubah, ekonomi

dan politik sudah berubah, dan bahkan budaya – termasuk bahasa Jerman – sudah berubah.

Kanselir Jerman adalah perempuan, Menteri Luar Negeri gay, Wakil Kanselir pendatang,

Menteri Keuangan cacat, Walikota Berlin gay pula, bekas wakilnya mantan Komunis. Presiden

Jerman adalah mantan pendeta yang belum cerai sama istrinya tetapi secara resmi »kumpul

kebo« sama pacarnya di Istana Presiden Jerman. Inilah yang dianggap sebuah pemerintah yang

konservatif di Jerman. Apakah Anda betul-betul yakin Foke cocok di lingkungan seperti itu?

Negara Jerman bukan lagi negara Jerman yang Foke kenal, di mana pada saat itu hubungan

homosexual masih menjadi pelanggaran hukum pidana. Kami yakin banyak diplomat profesional

yang lebih muda akan lebih cepat beradaptasi, sehingga mereka jauh lebih cocok untuk

jabatan Dubes RI di Jerman daripada fosil Orde Baru itu.

 

Dan bagaimana Foke mau meredamkan kegiatan Watch Indonesia! mengenai hak azasi dan

lingkungan hidup di Papua? Emang, dia tahu apa tentang Papua? Jakarta saja dia gak tahu,

apalagi Papua! Kalau Indonesia mau bicara soal Papua, kenapa bukan orang Papua dijabatkan

sebagai Dubes? O, gak ada yang memenuhi syarat. Kok bisa? Sudah 50 tahun Papua menjadi

bagian dari RI, tapi sampai kini SDM-nya kurang mencukupi??

 

Ataukah yang dimaksud dengan meredamkan gerakan Papua itu adalah ancaman terhadap Watch

Indonesia! dan para anggota serta para stafnya? Bagaimana caranya? Apakah Foke akan

membawa FBRnya ke Berlin pula? Di negeri ini gak bisa begitu. Foke sendiri akan menikmati

imunitas diplomat. Tapi preman-premannya akan dihukum seperti kriminal-kriminal umum lainnya.

 

Watch Indonesia! serta masyarakat Jerman dan Indonesia mengharapkan jabatan Dubes di

Jerman, satu jabatan yang penting, akan diberikan kepada orang yang pintar dan

profesional. 10 tahun yang lalu kami pernah bekerjasama dengan Dubes RI, Pak Rahardjo

Jamtomo. Kami bersama-sama menyelenggarakan konperensi tentang Otsus di Papua, karena saat

itu kami sepakat atas kesempatan sebuah otonomi khusus demi penyelesaian konflik.

 

Jika Pak Rahardjo Jamtomo saat ini masih menjabat Dubes RI di Jerman, mungkin kami masih

sependapat dalam menilai Otsus itu. Yaitu: Otsus sudah gagal dan konflik di Papua semakin

memanas.

 

Watch Indonesia! tidak berjuang untuk kemerdekaan Papua, melainkan penyelesaian konflik

secara damai. Kami yakin sebelum memperoleh solusi, kita perlu mempunyai analisa persoalan

yang tepat. Apakah kita akan percaya dengan resep pengobatan seperti dokter langsung

memberi obat tanpa diagnose terlebih dulu? Pasti tidak. Apakah persoalan Papua selesai

dengan resep pemerintah dan TNI tanpa diagnose dulu? Tentu juga tidak. Yang kami sedang

perjuangkan adalah sebuah dialog antara pemerintah RI dan perwakilan yang dipercaya oleh

rakyat Papua (asli).

 

Foke tidak cocok. Sudah gak bisa berdialog dengan rakyat Jakarta, gimana mungkin dia bisa

mengajukan dialog pemerintah dengan Papua? Figur-Figur ORBA seperti Foke dan »Ratu Adil«

akan menambah frustrasi di Papua. Bukan Watch Indonesia!, tetapi Foke dan »Ratu Adil«

paling bertanggung jawab kalau terjadi pemberontakan di dua propinsi Papua itu!

 

Akhirnya mengenai »infiltrasi« PPI: Anda sendiri mengambarkan Watch Indonesia! sebagai

suatu lembaga cendekiawan Jerman dan Indonesia. Terimakasih atas penilaian ini. Sebenarnya

organisasi ini terbuka untuk semua orang yang peduli tentang Indonesia dan Timor Leste.

Kecendekiawanan bukan syarat untuk menjadi anggota atau mitra Watch Indonesia!.

Mahasiswa/i Indonesia atau PPI bukan target group yang khusus, sesuai dengan segala taktik

dan strategi perjuangan seperti yang Anda tuliskan. Realitasnya sederhana saja: kebanyakan

masyarakat Indonesia yang tinggal di Berlin dan bersemangat demi tanah airnya adalah

mahasiswa/i. Gitu saja. Ga usah mikir jauh-jauh ke teori-teori yang sama sekali tidak tepat.

 

Salam,

 

Alex Flor

(direktur Watch Indonesia! yang berani memakai nama sebenarnya.

Kalau mau mencekal saya, silahkan)

 

 

 

--

 

***********************************************************************

Watch Indonesia! e.V.

Für Demokratie, Menschenrechte und Umwelt in Indonesien und Osttimor

Urbanstr. 114 Tel./Fax +49-30-698 179 38

10967 Berlin e-mail: watchindonesia@watchindonesia.org

www.watchindonesia.org

 

Konto: 2127 101 Postbank Berlin (BLZ 100 100 10)

IBAN: DE96 1001 0010 0002 1271 01, BIC/SWIFT: PBNKDEFF

 

Bitte unterstützen Sie unsere Arbeit durch eine Spende.

Watch Indonesia! e.V. ist als gemeinnützig und besonders

förderungswürdig anerkannt.

***********************************************************************

 

 

 

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:

------------------ Forum Indonesia Damai (FID) ------------------
Arsip Milis FID http://groups.yahoo.com/group/indonesia_damai/messages
Bergabung ke Milis FID:  indonesia_damai-subscribe@yahoogroups.com
Keluar dari Milis FID:  indonesia_damai-unsubscribe@yahoogroups.com
---------------- indonesia_damai@yahoogroups.com ----------------
.

__,_._,___

Wednesday, September 25, 2013

[indonesia_damai] Durjana

 

Durjana

Нɑнɑнɑ:)нaнaнaº°˚˚˚°º≈:D banyak betul yang mau jadi presiden ya?

Celakalah, jika kalian ingin menjadi presiden karena hanya mengejar tahta, harta & ta, ta, ta ... lainnya !

Majulah, jika benar-benar ingin melayani rakyat papa, bau, renta yg tak berdaya !

Jadi kesimpulannya, lupakanlah keinginan kalian itu, hai manusia durjana, layanilah orang yang paling hina di rumahmu, di keluargmu, di lingkunganmu dulu...

dan kalau Allah, yang menciptkanmu melihat hatimu benar-benar murni, jangankan jadi presiden republik Indonesia, bahkan mungkin kalian bisa diangkat jadi nabiNya....dan duduk di sebelah kananNya....

[ christov wiloto, serpong Wed, Sep 25, 2013 23:24:14 ]



Best Regards,
Christovita Wiloto
@wilotochristov

www.powerpr.co.id
www.wiloto.com
www.wilotocorp.com
www.strategicindonesia.com
www.indonesiayoungentrepreneurs.com
http://iye.wiloto.com
 

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:

------------------ Forum Indonesia Damai (FID) ------------------
Arsip Milis FID http://groups.yahoo.com/group/indonesia_damai/messages
Bergabung ke Milis FID:  indonesia_damai-subscribe@yahoogroups.com
Keluar dari Milis FID:  indonesia_damai-unsubscribe@yahoogroups.com
---------------- indonesia_damai@yahoogroups.com ----------------
.

__,_._,___

[indonesia_damai] Re: [GELORA45] China Reaps Biggest Benefits of Iraq Oil Boom - NYTimes.com,

 

Berita serupa yg juga dimuat di media, a.l. seperti ini:

#  As America fights, China gets contracts

....................

"After a war that has cost the lives of more than 2,200 Americans and over 17,000 Afghans, not to mention a bill of upward of $642 billion, it has been China, not the United States, that may commercially conquer Afghanistan. The situation is a replay of what has happened in Iraq, where Americans have suffered 4,486 casualties. In June, the New York Times reported that, since the 2003 U.S.-led invasion, Iraq has become one of the world's top oil producers and that China has become its biggest customer, buying almost 1.5 million barrels a day, almost half of what Iraq produces."

 

Selengkapnya, klik : http://www.cbsnews.com/8301-505123_162-57591567/as-america-fights-china-gets-contracts/

 

A.H.

 

----------------------

 

Von: him <hamulsky@yahoo.de>

An: "GELORA45@yahoogroups.com" <GELORA45@yahoogroups.com>

Betreff: Re: [GELORA45] China Reaps Biggest Benefits of Iraq Oil Boom - NYTimes.com,

Datum: Wed, 25 Sep 2013 11:35:29 +0200

 

 



"Dari pada uangnya dipinjamkan ke Amerika. Ya kalau bayar kembalinya lancar"

 
Menurutku, bagus juga uang "dipinjamkan" kepada USA, bisa diartikan saja sebagai uang cicilan membeli  (memborong) seluruh
 USA  se-isi2nya !
Tidak usah dengan perang, dengan hukum2 mereka sendiri bisa menaklukkan  neoliberalisme, neokolonialisme......hahahahaa.....

 

Von: Sunny <ambon@tele2.se>
An: GELORA45@yahoogroups.com
Gesendet: 10:33 Mittwoch, 25.September 2013
Betreff: Re: [GELORA45] China Reaps Biggest Benefits of Iraq Oil Boom - NYTimes.com,

 
Teori orang Hokkian ini bagus, makanya lambat tetapi selamat dan menjadi besar.
 
From: k.djie
Sent: Wednesday, September 25, 2013 9:50 AM
Subject: RE: [GELORA45] China Reaps Biggest Benefits of Iraq Oil Boom - NYTimes.com,
 
 
Bung Lin,
Terimakasih penjelasannya. Kok seperti dagangnya orang Hokkian dulu di Indonesia. Untung sedikit, tjin tjay ( tidak apa ), asal punya langganan banyak.
Di sini rupanya untung sedikit, tetapi kalau ribuan ton ya, jadi banyak, dan berputar cepat.
Di samping itu juga bisa membuat harga minyak bumi stabil. Kalau harga minyak bumi naik terus industry Tiongkok bisa macet.
Dari pada uangnya dipinjamkan ke Amerika. Ya kalau bayar kembalinya lancar
Dan kerjanya yang gampang2 saja, yang teknologinya sudah dikuasai. Jadi risiko kecil.
Amerika rupanya sedang mengexploitasi ladang2 gas dan minyak bumi dalam negeri dan bangun pelabuhan2 kapal2 tanker untuk export. Rupanya bakal tidak tergantung Timur Tengah 
Salam,
KH
From: GELORA45@yahoogroups.com [mailto:GELORA45@yahoogroups.com] On Behalf Of Hsin Hui Lin
Sent: woensdag 25 september 2013 9:00
To: Kiong Hoo Djie; GELORA45
Subject: [GELORA45] China Reaps Biggest Benefits of Iraq Oil Boom - NYTimes.com,
 
Bg. Djie
Iraq oil
Entah apa saja alasan untuk menyerbu Irak, yang jelas pelaku utama of Iraq War adalah G Bush, Dick Cheney dan Rumsfeld…ke-tiga2nya mempunya akar dan kaki yang dalam menamcap dalam Industri Minyak Tanah dan kaya-raya  karena itu.
Impian mereka kan : Ladang Minyak dan Gas Iraq dan menamcapkan dalam2 kaki mereka di Timur Tengah.
Kompound kedutaan Amerika adalah terbesar dan termahal didunia adalah di Irak, Bagdad.Luasnya lebih dari 100 accres, designed dengan fasilty perumahan bagi 1200 lebih pengawai pemerintahan Amerika dengan kesatuan bersenjatanya sendiri dalam kompleks, tembok beton yang tinggi mengelilingi kompleks, dan US menuntut “immunity” bagi “semua “pegawainya dikompleks inin  ( ditolak oleh Iraq.). Apa tujuan Amerika, apakah menciptakan “pemerintahan bayangan untuk mengkotrol pemerintah Irak ? Kok "gampang" sekali Amerika mendapatkan blok sebesar itu dan  menjadikan sepenuhnya  USA  sovereignity
Tetapi Impian Amerika untuk mengkontrol Ladang minyak dan Gas Iraq bagaikan balloon meletus diudara kosong., Pemerintah Irak telah menkontrak ladang2 minyak dan gasnya pada – perusahaan2 minyak dan gas dari 18 negara
Petikan dari:
China Is Reaping Biggest Benefits of Iraq Oil Boom
Nabil Al-Jourani/Associated Press
An oil refinery in Basra, southeast of Baghdad, in which China has a stake. China has poured money and workers into Iraq.
“The Chinese are the biggest beneficiary of this post-Saddam oil boom in Iraq,” said Denise Natali, a Middle East expert at the National Defense University in Washington. “They need energy, and they want to get into the market.”
“We lost out,” said Michael Makovsky, a former Defense Department official in the Bush administration who worked on Iraq oil policy. “The Chinese had nothing to do with the war, but from an economic standpoint they are benefiting from it, and our Fifth Fleet and air forces are helping to assure their supply.
 
Tanggapan Irak:
Abdul Mahdi al-Meedi, an Iraqi Oil Ministry official who handles contracts with foreign oil companies.:
"Notably, what the Chinese are not doing is complaining. Unlike the executives of Western oil giants like Exxon Mobil, the Chinese happily accept the strict terms of Iraq’s oil contracts, which yield only minimal profits. China is more interested in energy to fuel its economy than profits to enrich its oil giants. “We don’t have any problems with them,” “They are very cooperative. There’s a big difference, the Chinese companies are state companies, while Exxon or BP or Shell are different.”
But the Chinese, frequently as partners with other European companies like BP and Turkish Petroleum, have filled the vacuum. And they have been happy to focus on oil without interfering in other local issues. “The Chinese are very simple people,” said an Iraqi Oil Ministry official who spoke on the condition of anonymity because he did not have permission to speak to the news media. “They are practical people. They don’t have anything to do with politics or religion. They just work and eat and sleep.”
International energy experts said the Chinese had a competitive advantage over Western oil companies working in Iraq. They noted that the Chinese, unlike many Western oil companies, are willing to accept service contracts at a very low per barrel oil fee without the promise of rights to future reserves
The Chinese companies and their workers also win high marks for their technical expertise, as long as they are not working in complicated oil fields, like those in deep waters. “They offer a lot of capital and a willingness to get in quickly and with a high appetite for risk,” said Badhr Jafar, president of Crescent Petroleum, an independent oil and gas company based in the United Arab Emirates and a big gas producer in Iraq. He said the Chinese were vital to Iraq’s efforts to expand oil production, adding, “They don’t have to go through hoops to get people on the ground and working.”
If the United States invasion and occupation of Iraq ended up benefiting China, American energy experts say the unforeseen turn of events is not necessarily bad for United States interests. The increased Iraqi production, much of it pumped by Chinese workers, has also shielded the world economy from a spike in oil prices resulting from Western sanctions on Iranian oil exports. At the same time, China’s interest in Iraq could also help stabilize the country as it faces a growing sectarian conflict.
Tim Arango reported from Baghdad, and Clifford Krauss reported from Houston
Bg. Djie,
Sekedar tanggapan sya dengan mengutip dari kana dan kiri.
Salam, Lin
On 25 September 2013 02:56, k.djie <k.djie2@kpnmail.nl> wrote:
 




 

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:

------------------ Forum Indonesia Damai (FID) ------------------
Arsip Milis FID http://groups.yahoo.com/group/indonesia_damai/messages
Bergabung ke Milis FID:  indonesia_damai-subscribe@yahoogroups.com
Keluar dari Milis FID:  indonesia_damai-unsubscribe@yahoogroups.com
---------------- indonesia_damai@yahoogroups.com ----------------
.

__,_._,___