Friday, November 29, 2013

[indonesia_damai] AW: [GELORA45] Fw: NU dan PKI Sama-sama Korban Peristiwa G30S

 


" Ketua Lesbumi Jepara M Nuh Thabroni yang menerima dan sadar bahwa NU juga menjadi korban, sebelum acara berakhir pihaknya memintakan maaf kesalahan para algojo-algojo dari pihak NU yang telah membunuh, menyiksa, atau menyakiti masyarakat yang terlibat PKI ataupun tidak. ....

 “NU menjadi korban hasutan militer, sedangkan PKI adalah yang dikorbankan"

Negara Indonesia tidak bisa lepas tangan atas pelanggaran HAM berat / kejahatan besar terhadap Kemanusiaan yang pernah dilakukan oleh aparat militernya.

 

Benar bung Him, pengakuan secara jujur tentang tindak kejahatan yang pernah dilakukan dan permintaan maaf kepada keluarga korban seperti itu, pantas kita hargai sebagai langkah awal ditegakkannya Keadilan bagi Korban 65 dan juga Korban pelanggaran HAM berat lainnya, yang bisa menjadi pijakan kuat untuk melanjutkan langkah kearah penuntasan sejarah gelap masa lalu, menuju Rekonsiliasi nasional.

 

Arif H.

 

---------------------

-----Original-Nachricht-----

Betreff: Re: [GELORA45] Fw: NU dan PKI Sama-sama Korban Peristiwa G30S

Datum: Tue, 26 Nov 2013 18:47:20 +0100

Von: him <hamulsky@yahoo.de>

An: "GELORA45@yahoogroups.com" <GELORA45@yahoogroups.com>

 

 



Satu titik permulaan yang terang atas kegelapan dan ketegangan yang ada antara pelaku yang tertipu dan korban yang disébratkan !
Titik terang yang akan makin membesar dan menyinari kegelapan , membuka pintu rekonsiliasi yang sejati, yang akan mengantarkan kembali bangsa ini  menuju cita2 kemerdekaan yang telah sempat terkhianati oleh rejim orba dan pewarisnya selama ini.
Dengan menyadari siapa musuh bersama yang sebenarnya dari rakyat Indonesia, maka rakyat Indonesia dimasa mendatang tidak akan mudah lagi  diadu domba satu dengan lainnya, dimasa mendatang rakyat Indonesia akan lebih memperkokoh semangat gotong royong dalam, membangun Indonesia yang adil dan makmur dan bersatu padu melawan musuh bersama .

him

 


K. Prawira <k.prawira@ymail.com> schrieb am 14:37 Dienstag, 26.November 2013:
 
Senin, 30 September 2013 10:46 WIB
  
 

Sarasehan 'Mereka yang Belum Pulang'

NU dan PKI Sama-sama Korban Peristiwa G30S

 
Rhobi Shani
Sarasehan 'Mereka yang Belum Pulang' di gedung NU dalam rangka menyambut peringatan G30 S, Minggu, 29 September 2013. (Jaringnews/Rhobi Shani)
Sarasehan 'Mereka yang Belum Pulang' di gedung NU dalam rangka menyambut peringatan G30 S, Minggu, 29 September 2013. (Jaringnews/Rhobi Shani)
 
Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya, Indonesia sejak dulu kala, tetap di puja-puja bangsa. Di sana tempat lahir beta, dibuai di besarkan bunda, tempat berlindung di hari tua, sampai akhir menutup mata…
JEPARA, Jaringnews.com – LaguIndonesia Pusaka karangan Ismail Marzuki itu menjadi pembuka cerita Bambang Soekotjo, salah satu korban G30 S atau yang sering disebut peristiwa ‘65. Dalam acara sarasehan berlabel“Mereka yang Belum Pulang”, eks tahanan politik (tapol) di Pulau Buru itu memberikan kesaksian bagaimana sejatinya peristiwa ‘65 terjadi. Setidaknya apa yang dirasakan dan dialami warga Desa Ngemplak, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, pada kala itu.

“Saat itu saya masih kuliah di Undip (Universitas Diponegoro), tahu-tahu dikumpulkan di auditorium terus sampai Pulau Buru,” ujar Bambang disusul kelakar tawa menghapus duka.

“Kenapa saya awali dengan lagu itu, karena lagu itulah yang mampu menyatukan kita tanpa memandang perbedaan. Lagu itulah yang dapat membangkitklan rasa nasionalisme kita,” tegas Bambang.

Lebih lanjut Bambang menguraikan, meski kini telah dikembalikan pada masyarakat, kebebasan dan kemerdekaan sebagai warga negara yang seutuhnya belum didapat. Pasalnya, Bambang beserta korban eks tapol merasa hak sebagai warga negera belum kembali seutuhnya.

“Kebebasan yang diberikan oleh pemerintah Orde Baru kepada korban tragedi ‘65 dirasakan sebagai kebebasan semu bagi layaknya manusia seutuhnya,” terang Bambang.

Aku iki salahku apa, apa salahku (saya ini salah apa, apa salah saya)?" imbuh Bambang.

Selain menghadirkan sejumlah korban tragedi ‘65, sarasehan yang diprakarsai Loker Dokumenter Film dan lebaga kesenian NU, Lesbumi, di Gedung NU pada Minggu (29/9) malam, itu juga menghadirkan Muslim Aisha, peneliti yang pernah melakukan penelitian seputar peristiwa ‘65 di Kabupaten Jepara.

Muslim menyampaikan, secara umum peristiwa ’65 pihak-pihak yang tak dapat dilunturkan begitu saja dalam catatan sejarah diantaranya NU dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dimana kedua organisasi tersebut dinilai Muslim sama-sama pihak yang menjadi korban.

“NU menjadi korban hasutan militer, sedangkan PKI adalah yang dikorbankan. Pada masa itu siapa yang tidak bangga pegang senjata. Kalau sudah pegang senjata merasa yang paling gagah, ditambah hasutan cerita-cerita tentang PKI yang ateis, keji, pembunuh dan yang ngeri-ngeri lainnya membuat masyarakat (NU) terdorong untuk menghabisi PKI,” papar Muslim.

Sementara itu, Ketua Lesbumi Jepara M Nuh Thabroni yang menerima dan sadar bahwa NU juga menjadi korban, sebelum acara berakhir pihaknya memintakan maaf kesalahan para algojo-algojo dari pihak NU yang telah membunuh, menyiksa, atau menyakiti masyarakat yang terlibat PKI ataupun tidak.

Sebagai pamungkas acara sarasehan tersebut, Pendeta Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ) Danang Kristiawan mengajak semua pihak untuk jujur mengakui sejarah yang ada. Penglupaan sejarah korban adalah bentuk pengingkaran fakta bahwa pernah di negeri ini manusia dalam titik terendah kemanusiaannya.

“Kita harus sadar bahwa rekonsiliasi tidak sama dengan penglupaan sejarah. Rekonsiliasi yang sejati justru kalau kita mau jujur mengakui sejarah air mata di negeri ini,” ajak Danang.
(Rhs / Nky)
 
 




 

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:

------------------ Forum Indonesia Damai (FID) ------------------
Arsip Milis FID http://groups.yahoo.com/group/indonesia_damai/messages
Bergabung ke Milis FID:  indonesia_damai-subscribe@yahoogroups.com
Keluar dari Milis FID:  indonesia_damai-unsubscribe@yahoogroups.com
---------------- indonesia_damai@yahoogroups.com ----------------
.

__,_._,___

[indonesia_damai] Fw: Gerakan Muslim ''Kos-kosan''

 

 

PENGANTAR.
Artikel yang dimuat dikoran Merdeka terlampir ini, mengingatkan bagi warga yang mungkin lupa, bahwa Indonesia sebenarnya telah memiliki landasan negara /Konstitusi yang menjunjung tinggi nilai2 Perikemanusiaan yg adil dan beradab sebagai pedoman untuk pencerdasan dan peningkatan peradaban bangsa, demi tercapainya kerukunan sosial Bhineka Tunggal Ika kearah terbentuknya masyarakat yang adil, damai dan sejahtera.
Dengan kesadaran demikian itulah perlunya gerakan persatuan warga melawan praktek2 infiltrasi pecah belah kesatuan bangsa oleh kelompok "gerakan Islam bercorak Wahabi/ Ikhwanul Muslimin ", yg sedang terus melakukan propaganda dengan "mengimpor / mencontek Islam Timur Tengah" yg kadang dilakukan secara sembunyi2, tetapi ketika merasa sudah kuat bahkan dg cara2 kekerasan. Ulah kelompok ini jelas mengkhianati Konstitusi RI dan budaya yang diimport dari Timur Tengah oleh kelompok itu jelas tidak sesuai dengan kepribadian nasional Indonesia.

 

Basuki Tjahaya Purnama, dengan panggilan akrabnya AHOK -Wagub DKI Jakarta saat ini, berjasa besar

bagi bangsanya dalam pencerahannya tentang pentingnya membela Konstitusi RI.  Ahok secara tegas menyatakan siap mati untuk menjalankan Konstitusi sesuai sumpah jabatannya.

 

Didalam Konstitusi /UUD RI termuat cita2 pembangunan nation Indonesia yg merdeka penuh dari penjajahan kolonialisme dan imperialisme dan diatas landasan  keyakinan atas nilai2 luhur Perikemanusiaan yang adil dan beradab bertekad membangun masyarakat rukun dan damai dalam semangat Bhineka Tunggal Ika, membangun masyarakat yang adil (Pasal 33 UUD), makmur dan sejahtera bagi seluruh warganya. 

 

A:H:

 

--------------------------

  
   Suara Merdeka, 24 Mei 2011
Gerakan Muslim ''Kos-kosan''
Oleh Muh Yusuf Chudlori  *)
 
*) KH Muhammad Yusuf Chudlori, pengasuh Pondok Pesantren API Tegalrejo 
 
  23
SETELAH 13 tahun reformasi, bangsa ini memiliki musuh dalam selimut, antara lain bahaya tersembunyi dalam bentuk gagasan, usaha, dan aksi-aksi kekerasan yang salah satu tujuannya untuk mengubah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi negara Islam (khilafah Islamiyah). 

Kebebasan setelah runtuhnya rezim Orba dimanfaatkan oleh gerakan Islam bercorak Wahabi/ Ikhwanul Muslimin tampil ke publik. Mereka mengepakkan sayap melalui berbagai macam ormas hingga jadi politikus. Keran demokrasi yang telah dibuka mempercepat gerakan mereka seribu langkah ke depan, mengepung istana hingga menyusup ke desa-desa. Organisasi keagamaan NU dan Muhammadiyah juga tak luput dari penyusupan oleh kelompok ini.   

Di antara mereka seringkali tampil terang-terangan di jalanan sehingga fundamentalnya mudah dibaca khalayak. Identitas dan simbol yang mereka pakai sama persis dengan Islam di Timur Tengah. Perilaku mereka, seperti gampang mengafirkan orang, arogan, senang aksi kekerasan, menganggap sesat kelompok Islam lain dan tak mengakui keberadaan agama lain di negeri ini, mirip dengan gerakan Wahabi di jazirah Arab.

Islam fundamental yang mereka usung berbeda bendera, tak sama strateginya, tapi setidaknya ada kesamaan pencapaian, yakni negara Islam. Gerakan mereka ada yang menggunakan jalur diplomatik, tapi ujung-ujungnya adalah bagaimana membenamkan Pancasila dan UUD 45. 

Mereka seperti bermuka dua, di hadapan publik mengakui dua dasar negara itu dan menjunjung tinggi NKRI, tapi di hadapan kelompoknya sendiri dasar negara sudah dianggap piagam kuno yang usang, tak mengakui beragaman dan keberagamaan. Dalam artian, ideologi mereka bukan lagi Pancasila melainkan menggunakan Islam sebagai ideologi. 
Di antara yang mungkin paling fundamental adalah kelompok yang melakukan aksi teror bom. Gembong teroris Dr Azahari dan Noordin M Top bukan orang Indonesia. Mereka kebetulan muslim yang ”kos” di negara ini. Namanya saja pendatang jadi tak ada beban membuat ulah di negara lain. 

Keberadaan muslim kos-kosan ini banyak memengaruhi sebagian generasi bangsa ini yang kemudian menjadi kaki tangannya. Entah berapa kelompok yang dihasilkan oleh jaringan mereka, yang jelas keberadaan mereka tetap eksis hingga kini.           

Puluhan abad Islam dianut di Nusantara ini, lebih menekankan pada toleransi dan menjunjung tinggi kearifan lokal. Di antara pendiri bangsa ini juga orang Islam, salah satunya KH Wahid Hasyim, putra dari pendiri NU KH Hasyim As’yari, dengan lapang dada dan berani mengakui adanya agama-agama lain selain Islam dianut oleh saudara-saudara sebangsa dan setanah air. 

Kearifan Lokal

Para ulama juga telah sepakat bahwa Indonesia adalah darussalam (negeri yang damai). Indonesia bukan negara sekuler bukan juga negara agama melainkan negara beragama. Siapapun berhak tinggal di negeri ini asalkan tetap berpegang pada Pancasila dan UUD 1945.  

Sebagian generasi muda telah terkontaminasi gerakan fundamental, mereka kuliah di Timur Tengah yang kebetulan mendapatkan sponsor beasiswa dari kelompok Wahabi, setelah kembali ke Tanah Air mereka mengusung gerakan yang sama seperti negara-negara jazirah Arab sana. Dahulu para kiai, seperti KH Dalhar Watucongol, juga belajar di Timur Tengah, ketika pulang ke Tanah Air tetap menjunjung tingi kearifan lokal. 

Guru bangsa KH Abdurahman Wahid juga mengenyam pendidikan di Kairo, Mesir dan Bagdad Irak, ketika pulang ke Tanah Air justru menjadi pejuang humanisme. Ajaran Islam yang didapat di sana, tak di-copy-paste begitu saja oleh Gus Dur. Islam dan kearifan lokal diramu untuk sebuah misi perdamaian dunia.  

Sebenarnya, gerakan politik Wahabi bertentangan dengan semangat Islam sendiri. Tabiatnya yang keras, suka memvonis musyrik, kafir, dan murtad terhadap sesama muslim, serta aksi-aksi destruktif yang gemar mereka peragakan adalah bukti bahwa mereka telah melancarkan serangan terhadap keutuhan bangsa. Kegemaran mengkafirkan sesama muslim jelas bertentangan dengan sabda Nabi Muhammad SAW,” Siapa pun yang menuduh saudaranya yang muslim sebagai kafir, dia sendiri adalah kafir.”

Dasar negara Pancasila dan UUD 1945 adalah adalah harga mati, jika memilih hidup di Indonesia harus menghormati NKRI. Seluruh stakeholder bangsa ini harus bersama-sama berada di barisan terdepan membentengi keutuhan bangsa ini. Melakukan penyadaran masyarakat, bahwa gerakan fundamental yang diusung muslim kos-kosan menjadi bahaya laten negeri ini. (10)

— KH Muhammad Yusuf Chudlori, pengasuh Pondok Pesantren API Tegalrejo 
(/
Untuk berita terbaru, ikuti kami di Twitter twitter dan Facebook Facebook
Bagi Anda pengguna ponsel, nikmati berita terkini lewat http://m.suaramerdeka.com 
Dapatkan SM launcher untuk BlackBerryhttp://m.suaramerdeka.com/bb/bblauncher/SMLauncher.jad
 
                          ***


 

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:

------------------ Forum Indonesia Damai (FID) ------------------
Arsip Milis FID http://groups.yahoo.com/group/indonesia_damai/messages
Bergabung ke Milis FID:  indonesia_damai-subscribe@yahoogroups.com
Keluar dari Milis FID:  indonesia_damai-unsubscribe@yahoogroups.com
---------------- indonesia_damai@yahoogroups.com ----------------
.

__,_._,___

[indonesia_damai] Korupsi KPU Jatim Diperiksa Polda Jatim (bag.1)

 

JARAK - Jaringan Anti Korupsi
Dugaan  Korupsi KPU Jatim Diperiksa Polda Jatim
(Bagian Satu)

Bagian Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) Polda Jawa Timur (Jatim), mulai memeriksa Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jatim, terkait dugaan korupsi dana pemilihan gubernur (pilgub) Jatim 2013. Polisi sudah melakukan pengumpulan data & barang bukti. Maka awal Nopember 2013 Polda Jatim mulai memanggil pihak2 dari KPU Jatim untuk dimintai keterangan.

Yang telah diperiksa diantaranya adalah ketua KPU Jatim, Andry Dewanto; komisioner KPU Jatim bidang logistik, Sayekti Suindiyah; Bendahara, Santi; dan Turmudi, Staff KPU yang bertugas sebagai PPK (pejabat pembuat komitmen) yang bertanggungjawab pada seluruh kontrak pengadaan logistik & kegiatan2 lain untuk keperluan pilgub Jatim 2013.

Beberapa hal yang diperiksa diantaranya adalah diketemukannya kejanggalan dengan adanya surat ketua KPU Jatim nomor 70.03/KPU-Prov014/PKD.JTM/VII/2013 tertanggal 7 Juli 2013, yang dikirim secara diam2 oleh Andry Dewanto pada tanggal 8 Juli sekitar jam 01.00 dini hari ke KPU kota/kabupaten melalui faximil ataupun email (jam bisa dilihat pada data penerimaan faximil KPU kota/kabupaten), yang memerintahkan KPU kabupaten/kota se Jatim untuk mencetak DPT (daftar Pemilih tetap) pilgub Jatim, sebanyak sejumlah TPS (Tempat Pemungutan Suara) dan tiap TPS sebanyak 25 lembar.

Dalam surat tersebut dikatakan bahwa biaya mencetak DPT tersebut akan diganti oleh KPU Jatim. Tapi ternyata sampai sekarang banyak KPU kota/ kabupaten di Jatim, tidak diganti biayanya oleh KPU Jatim, sehingga biaya percetakan menjadi tanggungan KPU kota/kabupaten dan akhirnya diambilkan dari anggaran KPU kota/kabupaten di Jatim.

Padahal anggaran percetakan DPT itu ada dalam anggaran KPU Jatim. Sedangkan KPU kota/kabupaten tidak dianggarkan untuk percetakan DPT. Akhirnya bisa diduga percetakan DPT itu memakai biaya alat tulis kantor atau dari anggaran kegiatan yang lain dari KPU kota/kabupaten. Dengan ini KPU jatim sudah menyeret KPU kota/kabupaten untuk melanggar hukum yakni penyalahgunaan anggaran, dimana anggaran KPU kota/kabupaten dipakai untuk kegiatan yang tidak semestinya yakni percetakan DPT yang anggarannya sudah ada di KPU Jatim.

Padahal sebenarnya, untuk percetakan DPT itu sudah diadakan dalam pelelangan sebagaimana http://lpse.jatimprov.go.id/eproc/lelang/view/5160015 dengan kode lelang 5160015 senilai Rp. 15,5 milyar, yang terdiri dari pengadaan formulir A (DPS & DPT), formulir terdaftar sebagai pemilih dan stiker terdaftar sebagai pemilih. Dan sudah ditunjuk penyedia barangnya oleh KPU Jatim dan pihak tersebut sudah dibayar untuk kegiatan tersebut, termasuk percetakan DPT (ket: percetakan DPT adalah 25% dari total kegiatan pengadaan senilai Rp 15,5 milyar ini)

Artinya ada pihak yang sudah dibayar oleh KPU Jatim untuk mencetak DPT, tapi tidak melaksanakan percetakan DPT. Malah KPU Jatim memerintahkan KPU kota/kabupaten di Jatim  untuk mencetak DPT yang akhirnya memakai anggaran KPU kota/kabupaten. Pertanyaannya, uang yang dibayarkan pada penyedia barang itu dinikmati oleh siapa?

Kejanggalan ini akhirnya menguak hal lain lagi, yakni dalam percetakan surat suara pilgub jatim 2013 sebagaimana http://lpse.jatimprov.go.id/eproc/lelang/view/5646015 dengan kode lelang 5646015 senilai Rp. 11 milyar dengan peyedia barang PT Karya Kita yang berlamat di Jl. Pasirwangi no.2-4, Pasirluyu, Bandung
(Bersambung)

Untuk konfirmasi bisa menghubungi:
1. Andry Dewanto (Ketua KPU Jatim) HP: 081555646240 ; 081805090111
2. Sayekti Suindyah ( anggota KPU Jatim, bidang logistik) HP: 081359916667
3. Turmudi PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) KPU Jatim HP: 08123250303
4. Aristono Sekretaris KPU kota Surabaya, ketua panitia pengadaan formulir DPT dll
    HP: 08175286624

Untuk tentang surat ketua KPU jatim & konfirmasi percetakan DPT pilgub Jatim oleh KPU kota/kabupaten bisa menghubungi KPU kota/kabupaten di Jatim, secara sampling diantaranya:
1. KPU Tulungagung, Armand HP: 081335482972
2. KPU Lumajang, Yuyum HP: 087854285237
3. KPU Banyuwangi, Erfan HP: 081358105189
4. KPU Sidoarjo, Bimo HP: 082140440005
5. KPU Jember, Kety HP: 08124929605
6. dll

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:

------------------ Forum Indonesia Damai (FID) ------------------
Arsip Milis FID http://groups.yahoo.com/group/indonesia_damai/messages
Bergabung ke Milis FID:  indonesia_damai-subscribe@yahoogroups.com
Keluar dari Milis FID:  indonesia_damai-unsubscribe@yahoogroups.com
---------------- indonesia_damai@yahoogroups.com ----------------
.

__,_._,___

Tuesday, November 26, 2013

[indonesia_damai] "Law enforcement" pajak sebaiknya preventif! - ANTARA News

http://m.antaranews.com/berita/404953/law-enforcement-pajak-sebaiknya-preventif

"Law enforcement" pajak sebaiknya preventif!
1 minggu lalu | Dibaca 2023 kali

Christovita Wiloto (powerpr.co.id)
Menurut pakar komunikasi bisnis Christovita Wiloto, setelah munculnya kasus korupsi pajak oleh Gayus Tambunan, penegakan hukum (law enforcement) untuk Wajib Pajak menjadi lebih berat.

"Saya beberapa kali ngobrol dengan pengusaha. Mereka bilang 'bagaimana mau bayar pajak, kalau ternyata dikorupsi. Kita mau percaya siapa?" kata dia yang luas bergaul dengan kaum pengusaha, termasuk pengusaha UKM yang disebutnya kelompok pembayar pajak terpenting di Indonesia mengingat sumbangsih pajaknya yang luar biasa.

Membayar pajak memang keharusan, tetapi masyarakat harus merasa terjamin dan terlindungi ketika membayar pajak. Perasaan ini akan memperyakin pembayar pajak bahwa kewajiban yang mereka setorkan, disalurkan dengan baik oleh sistem pengelolaan pajak.

Christovita yang lama beroperasi di Singapura ini membandingkan apa yang berlaku pada sistem pajak di negeri itu dengan di Indonesia.

"Di Singapura, orang nikmat banget, membayar pajak tetapi juga bisa menikmati langsung manfaatnya. Misal sekolah murah sekali, hanya 10 dolar. Di Australia malah gratis. Jalan dan sarana transportasi bagus-bagus, juga layanan kesehatan, seperti juga terjadi di Malaysia," kata CEO & Managing Partner Power PR Christovita Wiloto & Co ini.

Dia menekankan bahwa memberi pesan kepada masyarakat bahwa 'orang membayar pajak bukan untuk dikorupsi' adalah sangat penting. Apalagi kalau jumlah uang yang dikorupsi mencapai triliunan rupiah, orang akan menjadi berpikir ulang dan membayangkan alangkah sayangnya dana sebesar itu tidak untuk membangun sekolah dan fasilitas publik lainnya, melainkan diselewengkan.

Ketika setiap orang di Indonesia saat ini harus berjuang sendiri, dari mulai berobat sampai pendidikan dan transportasi, dana yang mereka setorkan sebagai pajak, malah digunakan tidak untuk kepentingan umum. Fakta ini menurut Christovita sangat memukul pembayar pajak.

Oleh karena itu, kata dia, selama pemerintahan masih sangat korup dengan level korupsi salah satu tertinggi di dunia, penegakan hukum menjadi tugas yang maha berat. "Harus ada sistem pembelaan. Banyak teman saya pengusaha muda yang kolaps tapi dikenai pajak juga," kata Christovita.

Dia menilai penegakan hukum harus dilakukan sebijaksana mungkin dengan melihat konteks Indonesia. Ditjen Pajak harus introspeksi dan membersihkan terlebih dahulu internalnya, sementara pemerintah juga harus bersih.

"Saya yakin jika pemerintah bersih, otomatis orang bayar membayar pajak tanpa merasa dipaksa," tegasnya yakin.

Ditjen Pajak tidak boleh bosan menerangkan dan mensosialisasikan fungsinya, terutama bahwa fungsi pajak itu diadakan demi pembangunan dan perbaikan sarana umum, misalnya memasang penegasan-penegasan tentang betapa penting dan berartinya peran pembayar pajak yang di Indonesia disebut Wajib Pajak itu.

"Pada jembatan yang sedang dibangun tempelah tulisan 'jembatan ini dibangun dengan fasilitas pajak Anda' atau 'sekolah ini murah karena disubsidi pajak Anda', " kata dia memberi contoh. Dia melanjutkan, "Saya tinggal di Singapura lama sekali, dan saya melihat masyarakat merasakan efek pajak."

Dalam konteks ini pula, penulis buku "The Power of Public Relations" dan "Behind Indonesia's Headlines" ini menilai Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak tak perlu mengambil langkah drastis seperti memanfaatkan jasa debt collector terhadap Wajib Pajak, sekalipun Wajib Pajak itu nakal.

Menurut dia, wacana itu harus diganti dengan memanfaatkan secara luas fungsi customer service yang bisa bersopan santun berhubungan dengan Wajib Pajak dengan tidak menagih dan mengingatkan ketika jatuh tempo pembayaran pajak sudah lewat.

"Saya baru menangani satu bank yang kredit macetnya tinggi sekali, lalu saya sarankan untuk memperbanyak customer service perempuan untuk mengingatkan orang sebelum masa pembayaran utang mereka jatuh tempo," kata Christovita.  Dan itu berhasil.

Bagi dia menagih itu beranalogi dengan menyembuhkan, sehingga lebih baik menyehatkan dengan cara-cara persuasif seperti itu. Diingatkan sebelum jatuh tempo akan memberi Wajib Pajak waktu guna menyiapkan dana sebelum jatuh tempo pembayaran pajak tiba.

Membandingkan dengan praktik pengelolaan utang di perbankan, cara persuasif secara drastis sukses menurunkan kredit macet karena orang sebenarnya mau membayar, tapi mereka lupa. Jika secara halus diingatkan seminggu sebelum tenggat, mereka pasti membayarnya. "Jadi strategi pendekatannya yang harus diubah. Preventif, bukan reaktif," kata Christovita.

Menurut dia, "Kalau saya jadi Humas Pajak, saya akan memakai kasus Gayus dan orang-orang pajak yang ditangkap sebagai sarana bahwa di tubuh pajak telah dan tengah ada proses antikorupsi, bahwa Ditjen Pajak serius membersihkan diri."

Hubungan masyarakat ini penting karena berkaitan dengan trust. "Ketika publik percaya pajak yang dibayarkan mereka akan berguna untuk mereka sendiri, maka mereka pasti akan membayar pajak," kata Christovita.

Sembari terus mengingatkan bahwa membayar pajak itu berkaitan dengan trust, Christovita menekankan bahwa pencegahan itu lebih perlu. "Makin preventif makin bagus, jangan ditunggu sebelum kesalahan terlalu dalam dan itu costnya lebih rendah, termasuk cost sosialnya," kata dia.

Christovita juga menyarankan Ditjen Pajak untuk menganalisis sistem analisa seperti dilakukan bank saat menganalisis kredit macet. "Ditjen Pajak harus belajar dari bank bagaimana menangani Wajib Pajak yang macet."

Selain itu harus ada program gebrakan seperti sunset policy, dan tak boleh lagi dikorupsi. Kebijakan itu dianggap perlu mengingat pembayar pajak terbesar di Indonesia saat ini adalah pengusaha, terutama UKM yang disebutnya menyumbang 70 persen untuk PDB Indonesia.

"UKM di Indonesia itu sering gemas karena setelah berjuang keras meraih untung seperak demi seperak, instansi pajak malah enggak mau tahu dengan tidak memberi perlakuan khusus untuk UKM. Mereka dianggap sama dengan konglomerat," kata dia.

"Situasi seperti itu seharusnya tidak boleh terjadi. Mereka sudah bekerja keras dan menanggung bunga bank yang tinggi, sudah setengah mati bertahan dan menyumbang 70 persen PDB negara, lalu mereka mendengar ada korupsi terhadap pajak, kemudian enggak ada juga perlakuan khusus, tak ada kebijaksanaan dan fasilitas pemerintah.  Tentu ini memukul mereka," kata dia.

Padahal sebentar lagi pasar bebas diterapkan dan UKM banyak yang mati sebelum bisa tumbuh. "Setidaknya pajak pro UKM," saran Christovita, sembari menekankan keperluan mempersatukan UKM guna menghadapi persaingan usaha yang semakin berat menyusul pasar bebas.

Dalam soal ini pula, Christovita tak bersetuju dengan langkah terlalu keras kepada Wajib Pajak. "Lebih baik membantu mitra bisnis agar pelanggaran pajak tidak terjadi," katanya.

Dia menekankan pengelolaan pajak tidak dikerangkakan demi meraup dana masyarakat, sebaliknya untuk membuat perekonomian semakin maju. "Seperti polisi yang baik, harusnya jangan berdiri di belakang rambu tapi di depan rambu. Tidak langsung menilang, tapi memberi tahu yang benar," katanya beranalogi.

Hal itu sama dengan pentingnya sosialisasi pajak karena bisa jadi orang berbuat salah karena mereka tidak mengerti mekanisme dan fungsi pajak. Sosialisasi sangat penting dan Ditjen Pajak tak boleh bosan melakukannya.

"Dulu sebelum Gayus ditangkap iklan dan penjelasan tentang pajak banyak sekali. Sekarang harus lebih banyak lagi," tutup Christovita.


Best Regards,
Christovita Wiloto
@wilotochristov

www.powerpr.co.id
www.wiloto.com
www.wilotocorp.com
www.strategicindonesia.com
www.indonesiayoungentrepreneurs.com
http://iye.wiloto.com
 

------------------------------------


------------------ Forum Indonesia Damai (FID) ------------------
Arsip Milis FID http://groups.yahoo.com/group/indonesia_damai/messages
Bergabung ke Milis FID: indonesia_damai-subscribe@yahoogroups.com
Keluar dari Milis FID: indonesia_damai-unsubscribe@yahoogroups.com
---------------- indonesia_damai@yahoogroups.com ---------------- Yahoo Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/indonesia_damai/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/indonesia_damai/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
indonesia_damai-digest@yahoogroups.com
indonesia_damai-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
indonesia_damai-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo Groups is subject to:
http://info.yahoo.com/legal/us/yahoo/utos/terms/

Sunday, November 24, 2013

[indonesia_damai] Fw: Chilean Socialism 1: Indonesian Fascism 0

 

Berikut ini terlampir artikel menarik oleh ANDRE VLTCHEK *) yang menuliskan pengalamannya

dalam melakukan studi tentang Chili dan Indonesia, serta penilaiannya tentang situasi sosial,

politik dan budaya dari kedua negeri tersebut.

 

Sebagai pengantar, berikut ini saya lampirkan tulisan singkat dari Ariel Heryanto **)

tentang artikel ini, yg saya kutip dari facebooknya.

 

Ariel Heryanto via AE Priyono
AE Priyono : "Sungguh mengerikan . . . bagaimana negeri ini digambarkan dengan bahasa yang lugas, sarkastik, dan menohok. Keluar dari fasisme Orde Baru, di bawah kepemimpinan salah seorang jenderalnya, Indonesia masa kini ternyata hanya dinilai sebagai karya-puncak dominasi Barat. . . ."

* * *

Sebuah kekecewaan yang semestinya hanya bisa hadir akibat kecintaan yang besar dan harapan yang melambung tinggi, . . . kemudian terhempas ditumbangkan oleh kenyataan yang dijumpainya sehari-hari di negeri ini. Bahasanya meledak-ledak, dan cenderung hitam putih. Tetapi begini terjemahan bebas saya atas cuplikan dari artikel Andre Vltchek yang dikomentari AE Priyono:

“Apa jadinya bila sebuah negeri yang miskin dihantam sebuah kudeta militer yang bengis, kemudian diserahkan pada kaum fanatikus agama, dan dipaksa hidup di bawah tumit fasisme dan kapitalisme yang paling ganas? Apa jadinya jika nyaris seluruh kebudayaan di negeri itu dimusnahkan, dan alih-alih pendidikan, yang dilaksanakan justru pencucian-otak yang disempurnakan dari negeri asing?

Apa jadinya, jika 2-3 juta orang dibunuh, kemudian semua yang bercorak kekiri-kirian dinyatakan terlarang, termasuk bahasa, budaya, teater, filem, dan atheisme?

Jawabnya: pola Indonesia! Artinya: nyaris tanpa mampu berkarya; lingkungan hidup yang porak-poranda; infrastruktur yang berantakan; korupsi yang meraja-lela, dan tidak seorang pun intelektual berbobot internasional yang berbicara lantang; dan sejujurnya penduduk yang secara fungsional masih buta-huruf; tidak tahu-menahu tentang peristiwa dunia, bahkan tentang riwayat sejarah bangsanya sendiri, dan tentang kedudukan bangsa ini yang rentan di dunia.

. . . . . . setelah pesta-najis teror di tahun 1965 dan 1966, setelah jutaan orang dibantai, jutaan lainnya diperkosa, dan puluhan juta lain disiksa, hasilnya seluruh negeri kepulauan ini bungkam dan tak berdaya untuk menyusun perlawanan. Seluruh negeri tak berdaya untuk berpikir, terus-menerus sibuk mengucapkan slogan keagamaan, pop dan televisi, bukannya berpikir tentang masa lampaunya, masa kini, dan masa depannya”.

 

 

*)  André Vltchek is a naturalized US citizen and novelist, filmmaker, journalist, photographer and playwright. He covered dozens of war zones and conflicts from Bosnia and Peru to Sri Lanka, DR Congo and Timor Leste. After living for many years in Latin America and Oceania, Vltchek presently resides and works in East Asia and Africa.

(http://en.wikipedia.org/wiki/Andre_Vltchek)

 

**)  Ariel Heryanto, penulis buku "State Terrorism and Political Identity in Indonesia,Fatally Belonging"

      ( http://www.routledge.com/books/details/9780415371520/ ) -segera akan terbit dlm. bahasa Indonesia.

    

 

 

WEEKEND EDITION NOVEMBER 22-24, 2013
 
Fight or Flight

Chilean Socialism 1: Indonesian Fascism 0

by ANDRE VLTCHEK
Several years ago, I spoke to two members of Allende’s government. Two who managed to survive. One of them recalled: “They used to threaten us, before the coup, before that terrible September 11, 1973: ‘Watch out, comrades, Jakarta is coming!’”
“We did not know much about Jakarta then,” he confessed. “Only that it was the capital of a far-away country called Indonesia… But very soon we found out…”
‘Jakarta’ is not just the capital of the fourth most populous country on earth; it is also the ‘least habitable major city in Asia Pacific’. Jakarta is also a concept, an enormous experiment on human beings, which was quickly turned into a blueprint that has later been implemented by the West all over the developing world.
The experiment was about trying to figure out this: What happens to a poor country that is hit by a brutal military coup, then thrown to religious zealots, and forced to live under the heel of extreme capitalism and fascism? And what happens if almost its entire culture gets destroyed, and instead of education, some brainwashing mechanism perfected abroad, gets implemented?
What if you kill 2-3 million people, and then you ban entire languages and cultures, theatres, art films, atheism, everything that is to the left of center?
And what if you use thugs, paramilitaries, archaic family and religious structures and a ridiculously toothless media, to maintain ‘the new order’?
The answer is this: You get your Indonesian model! Which means – almost no production, a ruined environment, collapsed infrastructure, endemic corruption, not even one sound intellectual of international caliber, and frankly speaking, a ‘functionally illiterate’ population, ignorant about the world, about its own history, and about its own position in the world.
Botero - Guantanamo, exhibition in Santiago
Botero – Guantanamo, exhibition in Santiago.
But the most important conclusion of this ‘research’ is that after the orgy of terror in 1965 and 1966, after the millions that were killed, millions that were raped, tens of millions beaten and tortured, the result is the entire archipelago that is wholly silenced, and unable to organize any resistance. You get the archipelago that is unable to think, and which constantly repeats religious, pop and television slogans, instead of thinking about the past, present and the future.
If you are a corrupt and treasonous local ruler, or if you are the puppeteer that controls such a country from abroad, what you get is easy access to all its natural resources, a population unable to organize itself and fight for its rights, and voters indifferent to reality and unfamiliar with concepts such as dignity, and therefore ready to cast their ballot simply for a fee.
You get all this and more, and all you have to do is to make sure you butcher some 2-3% of the population, 40% of teachers, and that you rape millions of women and children, then terrify and silence all the minorities.
Indonesian fascist art
Indonesian fascist art.
The West hailed this as a splendid success! It congratulated “Our Man – Suharto” (In 1995, a senior Clinton administration official, commenting on the Indonesian President, Suharto, then on a state visit to Washington, referred to him as “our kind of guy.”). Murdering millions of ‘Communists’, was after all, the best way of gaining the admiration and respect of the US White House and Congress. And “selling” the country to Western companies was the most honorable and sensible path to gaining political and financial rewards from the ‘free world’.
To terrify the country, to paralyze it by fear… To strip it of all real opposition, that was exactly what was needed! Suharto and his military cronies, his generals (one of them is presently the President of Indonesia), his thugs that murdered intellectuals, teachers, writers and union leaders, all became our ‘buddies’, our ‘mates’, our ‘jolly good fellows’.
Indonesian modern art - that will really save the country
Indonesian modern art – that will really save the country.
Like those guys, who dutifully cut people to pieces, raped 14-year old girls and terrorized those people who were still willing to think and to speak, everything was shown in detail in the award winning film by Joshua Oppenheimer: “The Act of Killing”.
And what did the Indonesian viewers and TV hosts do when the thugs confessed to kill hundreds? They laughed, and cheered, and applauded!
Magnificent Museum of Memory and Human Rights in Santiago
Magnificent Museum of Memory and Human Rights in Santiago.
In 1998, Suharto fell, but the ‘model’ survived, and it is still being promoted, and pushed down the throats of many countries all over the world. It is marketed as ‘tolerant and democratic’ by European and US government officials and certain NGO’s. This I was told, recently, by members of the diplomatic community in Cairo, Egypt, the place where the revolution was successfully derailed and destroyed, mainly from abroad.
And why should it not be promoted? This is the masterpiece of Western domination: an enormous country, fully screwed and thoroughly ruined, plundered, abandoned to the market, robbed of everything… And the people here are so conditioned, so badly educated, so uninformed, that they are thoroughly unaware of how grotesque the state of their subsistence is.
In Indonesia, for years and decades, I have been interviewing hundreds of poor men and women who are living in a gutter, then shitting into filthy canals in cities like Surabaya, Medan and Jakarta, using the same water to wash their dishes and themselves… People who barely survive on a less than $1 a day, were proudly declaring on camera that they are not poor, that they are doing well, and that their country is just fine.
praying in front of Suharto tomb copy 2
Praying in front of Suharto tomb.
A few streets away, the newly rich, sit in their luxury SUV’s in epic traffic jams, watching television, going nowhere, but proud that they have moved up the rungs on their class ladder.
What a success! What an absolute success of fascist, neo-colonial demagogy and the ‘market economy’!
This ‘success’ was, of course, studied and analyzed in Washington, Canberra, London and elsewhere. It has been implemented all over the world, in different forms and variations, but with the same essence: strike and murder every thinking being, shock and brainwash… then rob the poor and reward a few criminals… from Chile to Argentina, Yeltsin’s Russia and Rwanda, now again in Egypt.
It has worked almost everywhere. “Jakarta was coming”, and it has been spreading its filth, its ignorance, brutality and compassionless way of ‘thinking’ all over the planet!
Santiago Metro - huge public art gallery
Santiago Metro – huge public art gallery.
It seemed to be the most perfect ‘treatment’ for dissent and the dreams of freedom, all over the world. And the US has been busy administering it all over the Western hemisphere, but also in Asia, Africa, and everywhere. Death squads were trained in the North American military facilities, and then sent back to operate in Honduras, Guatemala, El Salvador, and the Dominican Republic and in many other unfortunate places.
Of course they could not fully compete with the insane sadism of the Indonesian butchers, but they did their best; they worked quite well, really… Blowing the brains out of rebellious priests during their sermons, raping teenage daughters in front of their parents, cutting people to pieces… slightly watered-down versions of the Jakarta scenario, but with some local ‘cultural’ flavors.
In Chile, in one of the oldest democracies on earth, the 9-11-1973 military takeover, brought new innovations to the established routine of horrors: women prisoners raped by dogs, prisoners with their hands tied, thrown alive into the sea from helicopters, while some were delivered to those old German Nazis inhabiting the so called “Colonia Dignidad” in the south of the country, for medical experiments.
It appeared that Western terror; its colonial tactics perfected and refined over centuries, will finally triumph, globally. It looked almost certain that no antidote would work: An antidote to the sadism and fear that has been paralyzing most of the subjects in the client states.
The Chilean military junta began with the same zeal as its Indonesian counterpart of eight years earlier. In Jakarta, religious Muslim cadres almost immediately joined the killing and torture, while in Santiago; it was conservative Christendom, particularly Opus Dei, which threw its support behind the murderers and rapists of General Pinochet. In both places ‘conservative family values’ were evoked, to justify the most appalling atrocities.
The streets of Santiago and other Chilean cities fell silent. Horror was omnipresent. Doors were kicked open by military boots and people dragged to dungeons, tortured, raped, murdered.
The National Stadium was filled with men and women. Like in Jakarta, noble, educated people were tortured and beaten, even killed with absolutely no scruples.
At one point, the soldiers came and arrested a bard; one of the most beloved singers of Latin America, Victor Jara. They broke his hands. Then they threw his guitar at him and shouted: “Now you can sing!”
Student protest - demanding free education all the way to university
Student protest – demanding free education all the way to university.
This was the most significant moment – I would insist, the crucial moment. The moment when Santiago and Jakarta parted! The moment when in South America, an extremely long and difficult process began: the process, which could be described as the fight for freedom, for true freedom, not for that empty fake slogan that has been repeated over and over again by Western propaganda.
Because at that moment, Victor Jara stood up, in terrible pain but undefeated, full of spite, and sang to his tormentors, straight at their filthy muzzles, “Venceremos!”
He sang loud, and after a while, they were overwhelmed by his voice and the lyrics, they aimed at him and shot him dead.
But he did not die, instead he became the symbol of resistance, of the struggle against fascism and imperialism. He became the symbol of the struggle that is still continuing and gaining momentum in so many parts of the world!
In 1965, in Jakarta, there was no struggle. The victims allowed themselves to be slaughtered. They were begging for mercy as they were strangled, stabbed, shot to death. They called their tormentors, their murderers, their rapists, ‘pak’ and ‘mas’ (respectful form of addressing a man). They cried and begged for mercy.
In 1973, in Santiago de Chile, young men and women went to the mountains, to fight fascism, under the banner of MIR; some 10,000 of them. It was a clean and proud fight, as MIR decisively rejected all forms of terrorism, and concentrated on military targets.
Hundreds of thousands of Chilean people left the country, scattering to all corners of the globe, from Mexico to Sweden, Canada to New Zealand. Wherever they went, they relentlessly worked on bringing down Pinochet and his US-backed junta. They wrote theatre and radio plays, made powerful films, wrote novels, arranged meetings and demonstrations in literally every major capital of the world. They never gave up. They dedicated their lives to the struggle. The millions at home and the hundreds of thousands of those forced to live abroad.
Eventually, Augusto Pinochet became a symbol of degenerate military power, of treason, of colonialism, of modern fascism.
In Indonesia, the victims accepted their ‘fate’ and with it, they accepted the most disgusting type of market fundamentalism. They accepted the fascist political system that stripped the poor (really the great majority) of all their rights. They accepted the thuggish, mafia-style arrangement for their country. They accepted a system where women are treated as the property of their fathers and later as the property of their husbands, while those who work and hold important positions are treated like whores, by their bosses, co-workers and even by their fellow Parliamentarians.
In Chile, nothing was really ‘accepted’. Nothing was forgotten and nothing was forgiven. Instead of looking at the ruling ‘elites’ as heroes, the majority of Chileans saw them as a bunch of bandits. Instead of looking at their parents with servile submissiveness ‘Indonesian-style’, a great number of Chilean youth held them responsible for creating or at least tolerating this monstrous system.
While Indonesia became the second (after Nigeria) most religious country on Earth (despite the fact that Muslim and Hindu cadres were directly responsible for some of the most appalling atrocities, while Christians are lately professing the outrageous belief that God loves the rich, and hates the poor, participating in the segregation of society, and even in open racism), Chile reformed its laws, modernized its education, and sent Christianity where it belongs – to its churches and very far away from public eyes.
In Indonesia, Suharto stepped down, but the system survived; it even hardened itself. One of Suharto’s generals is now serving as President of the country. And decades ago he was one of the leading military figures in occupied East Timor, during the most horrible massacres, during the genocide, in which some 30% of the local population lost their lives. The father of his wife was another general, who boasted that during the 1965 coup, they, the military, managed to kill around 3 million people.
In Chile, as in Argentina, most of those military leaders who committed crimes against humanity are now imprisoned, disgraced and despised.
Both armies, Indonesian and Chilean, of course, committed high treason, by selling their services to foreign powers, and instead of defending their citizens, fought for a fee, against their own defenseless women and children.
In Indonesia, many consider one of the worst butchers of the 20thcentury, and the most corrupt ruler of all times, General Suharto, a national hero! In Chile, General Augusto Pinochet is now clearly identified as a criminal, by a great majority of the people.
In Indonesia, between 2 and 3 million died in 1965/66. In Chile, the number was 3 to 4 thousand. Even adjusted to the dissimilar size of the population, the difference is overwhelming. Still, in Chile, there are hundreds of books written on the topic, dozens of powerful films made, and the topic is constantly addressed in newspapers, magazines and television programs – it is an essential part of the national memory. Without it, there seems to be a consensus – there is no way forward.
In Indonesia, there is an absolute blackout and silence.
The Indonesian population is fully loyal to the propaganda it has been fed for many decades. It is telling that at a recent attempt to resurrect the topic, at a screening of the documentary (unfortunately quite mediocre) called “15 Years After” (referring to numbers of years since Suharto’s stepped down), there were only 5 people in one of the major cinemas in Jakarta… And it was a Saturday afternoon.
Bandung - city of learning copy 2
Bandung – City of Learning.
Saturday afternoon in Santiago de Chile and the entire city is getting ready for an extremely long night. Dozens of theatres offer everything from classical performances to avant-garde plays. Nightclubs are preparing for the latest bands that come from all over Latin America. The music ranges from opera and symphonies, to ballads, salsa andcumbia. Cinemas in all corners of the city are showing the latest releases, as well as Asian, Latin American and European art films.
There is some ‘art for art’, but plenty of it is deeply political; it is shaping the nation, addressing every important issue, including the past.
The same obsession with culture and knowledge is the norm in other cities of the ‘Southern Cone’, including Buenos Aires, Sao Paulo and Montevideo. To know is to exist. To understand the world is to be free, independent, and to be alive. Knowledge is valued; it is deeply respected.
Some 15 thousand kilometers West of Chile, in the Indonesian cities of Jakarta, Surabaya or Medan, there is close to nothing one can do on Saturday nights. There are restaurants, of course, and several cinemas showing the lowest grade of Hollywood films. But there are no art cinemas, no theatres (only maybe one theatre performance a month, in a city like Jakarta, with 12 million inhabitants). The only random concerts are those organized by the European cultural centers, and those very few ones for the ‘elites’ in some hard to get into private hall.
Life is extremely boring in Indonesia, with no variety and no intellectual inspiration. And that’s how it was intended.
To get to the theaters, many citizens of Santiago opt for the metro system, one of the best and most efficient on earth. Each station is dedicated to local artists, many are equipped with public libraries, and one even has a free art cinema, where one can sit for the entire day for the price of one metro token, watching the greatest world classics.
In Jakarta, there is no metro at all, and almost no sidewalks, and there are only very few public parks. To cross the street, one often has to take a taxi. The city is approaching, and some people say it has already reached, a permanent gridlock.
Chile is embracing knowledge and everything that is ‘public’. Indonesia is stuck in uncool, totally cheap pop, buried in depressing individualism, forced to admire all in ‘private’.
The countries of South America that suffered from brutal dictatorships imposed by the West are now free and run by Socialist governments.
Indonesia is run by thugs, old generals and by a gloomy, degenerate, capitalist clique.
Women govern Brazil, Argentina and Chile, while a man who was in charge of a military unit in East Timor, during the genocide, runs Indonesia.
Michelle Bachelet who is poised to win in the second round and return as the President of Chile (after being a head of UNIFEM) is a doctor, pediatrician, single mother of 3 and an atheist. Her father, an army general during Allende’s administration, was murdered by Pinochet’s regime, and Ms Bachelet herself was brutally tortured in detention. She left the country and was trained as a doctor in East Germany, before returning back home.
While Camila Vallejo (25 years old), and her fellow student leaders are ready to become MP’s in Chile, many for the Communist Party. Indonesian women MP’s face sexual harassment from their fellow People’s Representatives, right on the floor of Parliament. And the Communist Party is flatly banned in Indonesia, just to make sure that nobody pushes for land reforms and social justice, anymore.
Chileans are now fighting for free education and for free medical care, and it is expected that their demands will be satisfied during the Presidency of Ms. Bachelet.
Indonesia is living with fully collapsed medical care and education systems, and everyone who can afford it, is leaving for hospitals in Singapore or Malaysia, and as far as possible for education.
There are countless private schools all over Indonesia, most of them religious. They specialize; it appears, in producing masses of young people unable to excel in anything at all, except in serving capitalist and religious dogmas, and in stealing for the sake of their family clans.
While Chile is fighting against poverty on all fronts, including by building high quality social housing, Indonesia has some of the most appalling inequalities on earth, and it even lies about the number of its inhabitants (it has over 300 million citizens, but only around 247 million are accounted for), just in case someone may demand, one day, that the poorest of the poor be housed, educated and healed.
Chile is one of the least corrupt nations on earth, while corruption in Indonesia is one of the highest on earth, with the former ‘our kind of guy’ Suharto entering the record books as the most corrupt ruler of all times.
Indonesia and Chile are two countries that went through a fascist hell; but there are two totally different stories, at the end of that hell.
One country – Indonesia – submitted itself, collaborated and in the end failed, collapsed, became much like some of those unfortunate nations of sub-Saharan Africa.
The other fought, proudly, consistently, and won, becoming one of the most habitable nations on earth, with a quality of life comparable to that of the European Union.
One is not able to produce one single decent novel after its great Communist writer – Pramoedya Ananta Toer (a former prisoner of conscience, whose books and manuscripts were burned by Suharto’s clique) – passed away. It produces nothing of intellectual value: no quality music or films, no scientific research, no ground-breaking educational concepts.
The other one – Chile – gave birth to some of the greatest modern writers, poets, filmmakers and architects. And some of the best wine!
The Indonesian model is frightening, but it can be defeated. It succeeds only when the people refuse to fight, when they submit to terror.
Indonesia, individuals are expected to surrender to brutal family and religious control. From birth, people here are conditioned: they live with fear, which is confused with ‘love’. First it is the potent fear of father, then of the priest, of the teacher. And then it progresses to fear of the military and capitalist dictatorship. In the end it becomes a paralyzing fear of ‘everything’, which stops every rebellion at the embryonic stage.
It is pathetic and depressing. It is working. But definitely not everywhere!
Rebelliousness works better. It has been working all over Latin America, including Chile. ‘Jakarta came’, but was fought, and thrown to the dogs.
But, as a result of the joint efforts of local and Western propaganda, the success of Latin America is absolutely unknown in Indonesia. And there is no one screaming in Jakarta at those brutal faces of the elites: “Watch out, bandits, Santiago is coming!”
Andre Vltchek is a novelist, filmmaker and investigative journalist. He has covered wars and conflicts in dozens of countries. His discussion with Noam Chomsky On Western Terrorism is now going to print. His critically acclaimed political novel Point of No Return is now re-edited and available. Oceania is his book on Western imperialism in the South Pacific. His provocative book about post-Suharto Indonesia and the market-fundamentalist model is called “Indonesia – The Archipelago of Fear”. He has just completed the feature documentary, “Rwanda Gambit” about Rwandan history and the plunder of DR Congo. After living for many years in Latin America and Oceania, Vltchek presently resides and works in East Asia and Africa. He can be reached through his website or his Twitter.
                          ***

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:

------------------ Forum Indonesia Damai (FID) ------------------
Arsip Milis FID http://groups.yahoo.com/group/indonesia_damai/messages
Bergabung ke Milis FID:  indonesia_damai-subscribe@yahoogroups.com
Keluar dari Milis FID:  indonesia_damai-unsubscribe@yahoogroups.com
---------------- indonesia_damai@yahoogroups.com ----------------
.

__,_._,___