Sunday, September 1, 2013

[indonesia_damai] RE : Peristiwa 1965 Bukan Tragedi

 

** Kutipan: "Mantan komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) Stanley Adi Prasetyo mengatakan bahwa temuan Komnas HAM
tentang peristiwa pembantaian 1965 menunjukkan secara transparan
bahwa negara berperan dalam pembantaian tersebut. Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib)—institusi yang
langsung bertanggung jawab kepada Presiden Soaharto saat
itu—bertangung jawab penuh terhadap peristiwa itu". Dalam kalimat
kutipan tersebut diatas, jelas ada kesalahan: Suharto waktu itu bukan
Presiden, tetapi sbg. Panglima Kopkamtib, yg memberikan perintah
lewat Struktur Komando Teritorial Angkatan Darat kepada Kodam, Kodim
dan Koramil untuk melancarkan operasi militer, melakukan pembunuhan
massal secara sistematis tanpa proses hukum terhadap orang2 tak
bersalah yang dituduh sbg. anggota atau simpatisan PKI. Presiden
Sukarno waktu itu sudah memerintahkan, agar pembunuhan massal itu
dihentikan, tetapi tidak digubris oleh Suharto. Suharto malah
berkhianat terhadap Bung Karno dan akhirnya dengan segala cara yang
licik penuh fitnah dan kebohongan berhasil merebut kekuasaan negara
lewat kudeta merangkak yg didukung oleh CIA dan negara2 blok Barat
sekutu AS. Pembunuhan massal secara sistematis tanpa proses hukum
oleh aparat negara, saya kira memang tidak cukup disebut sebagai
tragedi -peristiwa yang menyedihkan, karena istilah tragedi itu tidak
membedakan dengan peristiwa tragis lainnya seperti akibat bencana
alam atau wabah penyakit. Untuk selanjutnya, untuk lebih tepatnya,
mestinya kita menyebutkan peristiwa 1965-1966 itu sebagai peristiwa
Pelanggaran HAM Berat, atau Genosida 65 /Kejahatan terhadap
Kemanusiaan terbesar sejak PD II. ** Kutipan: " Joshua mengatakan
bahwa film tersebut (The Act of Killing) adalah upaya dia untuk
membuka mata dunia tentang apa yang terjadi di Indonesia pada saat
itu. "Jangan sampai ada lagi peristiwa serupa," ujarnya. Film
tersebut, menurut Joshua, menjadi cermin bagi semua pihak. "Bukan
hanya bagi Anwar Kongo, tapi juga cermin bagi seluruh rezim dan kita
semua," jelasnya.
Ia tahu bahwa sampai saat ini masih banyak orang di Indonesia yang
takut bicara soal peristiwa tersebut. Rekonsiliasi, menurutnya, hanya
bisa terjadi jika kita berani menghadapi ketakutan dengan menyingkap
fakta yang terjadi sebenarnya ". Laporan Komnas HAM 23 Juli 2012
telah menyatakan tentang adanya Pelanggaran HAM Berat pada peristiwa
yang terjadi pada tahun 1965-1966 dan tentang peranan aparat militer
Kopkamtib lewat Struktur Komando Teritorialnya -Kodam, Kodim dan
Koramil yang bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut. Salam,
Arif Harsana -----------------------------------------
http://www.shnews.co/detile-24197-peristiwa-1965-bukan-tragedi.html
Peristiwa 1965 Bukan Tragedi Fransisca Ria Susan | Sabtu, 31
Agustus 2013 - 14:04:29 WIB
: 1511

(Foto/Antara)
Ilustrasi. Orang Indonesia masih takut bicara peristiwa pembantaian
1965-1967.
JAKARTA – Peristiwa penculikan, penghilangan paksa, dan pembunuhan
terhadap lebih dari 1 juta orang Indonesia yang terjadi dalam rentang
waktu 1965-1967 bukan tragedi, karena tidak ada perang dari dua pihak
yang bertikai. Pembunuhan orang-orang tersebut dilakukan sepihak,
terencana, sistematis, dan ada sebuah lembaga resmi negara yang
mengizinkan hal itu terjadi.

Kesimpulan ini muncul dalam telekonferensi tentang Keadilan Sejarah
dalam Menyikapi Tragedi 1965 yang digelar The University of Melbourne
bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, Jumat
(30/8).

Telekonferensi ini juga melibatkan beberapa pembicara yang berlokasi
di Vancouver, London, dan Kopenhagen. Telekonferensi ini menghadirkan
sejarahwan, pengamat militer, intelektual, dan akademisi yang punya
kepedulian terhadap peristiwa 1965, seperti Kate McGregor, Jess
Melvin, Max Lane, Djin Siauw, John Roosa, Asvi Warman Adam, Hilmar
Farid, Bonnie Triyana, Stanley Adi Prasetyo, dan sutradara film The
Act of Killings, Joshua Oppenheimer. Hadir juga Nani Nurrachman, anak
Mayor Jenderal Soetojo (salah satu jenderal yang ditemukan tewas di
sumur Lubang Buaya pada Oktober 1965) dan para korban peristiwa 1965.

Hilmar Farid dalam pemaparannya mengatakan bahwa dibutuhkan sebuah
laporan hak asasi manusia tentang peristiwa 1965 yang bisa diandalkan.
Tanpa ini, penyangkalan bahwa peristiwa pembantaian itu pernah
terjadi akan terus berlangsung. "Kita perlu meyakinkan publik yang
kesadaran umumnya adalah penyangkal," ujarnya.

Hilmar melihat bahwa di ruang publik, penyangkalan terhadap kebenaran
peristiwa itu muncul dalam berbagai bentuk. Salah satunya adalah
menyangkal bahwa pembunuhan itu pernah terjadi atau mengatakan bahwa
apa yang terjadi saat itu adalah peristiwa saling bunuh. Padahal,
tidak ada perang saat itu. Tidak ada dua pihak yang saling serang,
tapi hanya satu pihak. "Jadi ini bukan tragedi, bukan konflik, tapi
pembantaian," ungkap Hilmar. Sebelumnya, John Roosa juga menyebut
hal serupa. "There's no war," ujarnya.

Mantan komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
Stanley Adi Prasetyo mengatakan bahwa temuan Komnas HAM tentang
peristiwa pembantaian 1965 menunjukkan secara transparan bahwa negara
berperan dalam pembantaian tersebut. Komando Operasi Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib)—institusi yang langsung
bertanggung jawab kepada Presiden Soaharto saat itu—bertangung
jawab penuh terhadap peristiwa itu.

"Karena 'pengebonan' (tindakan meminjam tahanan-red), penyiksaaan,
pemerkosaan dan pembunuhan dilakukan di detention centre;uga di
sekolah-sekolah Tionghoa yang dijadikan sebagai detention centre,"
ungkap Stanley.

Peristiwa pembantaian 1965-1967, menurut Stanley, juga memenuhi
sembilan dari 10 elemen pelanggaran HAM. "Satu-satunya yang tak
terpenuhi adalah soal (pelanggaran HAM berdasarkan) warna kulit,"
katanya.

Minta Maaf
Joshua Oppenheimer yang berada di Kopenhagen, saat bicara dalam
telekonferensi tersebut menekankan bahwa Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono harus minta maaf terhadap peristiwa pembantaian tersebut.
"Masyarakat Indonesia harus mendesak presiden untuk minta maaf. Apa
yang terjadi waktu itu adalah genosida, dan itu salah," katanya.
Ia menyebut bahwa permintaan maaf itu akan menjadi landasan
pembentukan Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi.

"Tanpa (mengetahui) truth, tidak akan ada rekonsiliasi," ujarnya.


Film The Act of Killings yang ia sutradarai sempat memancing
kontroversi karena berkisah tentang Anwar Kongo, salah seorang yang
terlibat dalam operasi pembantaian para kader dan simpatisan PKI pada
1965-1967. Joshua menunjukkan dengan sangat telanjang bagaimana
pembantaian tersebut memang dilakukan secara terkoordinasi dan
sistematis.

Joshua mengatakan bahwa film tersebut adalah upaya dia untuk membuka
mata dunia tentang apa yang terjadi di Indonesia pada saat itu.
"Jangan sampai ada lagi peristiwa serupa," ujarnya.

Film tersebut, menurut Joshua, menjadi cermin bagi semua pihak.
"Bukan hanya bagi Anwar Kongo, tapi juga cermin bagi seluruh rezim
dan kita semua," jelasnya.

Ia tahu bahwa sampai saat ini masih banyak orang di Indonesia yang
takut bicara soal peristiwa tersebut. Rekonsiliasi, menurutnya, hanya
bisa terjadi jika kita berani menghadapi ketakutan dengan menyingkap
fakta yang terjadi sebenarnya.(Inno Jemabut) Sumber : Sinar Harapan

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:

------------------ Forum Indonesia Damai (FID) ------------------
Arsip Milis FID http://groups.yahoo.com/group/indonesia_damai/messages
Bergabung ke Milis FID:  indonesia_damai-subscribe@yahoogroups.com
Keluar dari Milis FID:  indonesia_damai-unsubscribe@yahoogroups.com
---------------- indonesia_damai@yahoogroups.com ----------------
.

__,_._,___